Sabtu, 04 Agustus 2012

Budaya Lampung Sejalan Ajaran Agama

 BUDAYA Lampung dalam tulisan ini, yakni kultur kehidupan orang Lampung. Orang Lampung ialah semua orang yang ayahnya adalah juga orang Lampung, kakak dan buyutnya memang pribumi Lampung sejak dahulu kala, ber-kebuayan yang jelas asal usulnya sebagai orang Lampung. Juga dianggap menjadi orang Lampung, orang yang sebelum dia lahir ayahnya (suku lain), tetapi telah dinaturalisasikan secara adat dengan telah diakui menjadi anggota salah satu buay orang Lampung, dan yang bersangkutan mengimplementasikan adat Lampung, maka orang tersebut adalah juga orang Lampung. Adat budaya Lampung yang diutarakan di sini, terbatas pada pilar yang sejalan dengan ajaran agama Islam, yang patut untuk dilestarikan sepanjang masih pada pola adat-istiadat Lampung. Berbicara mengenai suatu adat budaya daerah, tidak usah dikhawatirkan akan dinilai mengembangkan pikiran primordial, bakal merusak persatuan dan kesatuan bangsa. Pengungkapan ataupun pembahasan mengenai kebudayaan daerah, atau apa saja yang berkaitan dengan daerah, sama sekali tidak akan membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa sepanjang ihwalnya masih dalam koridor wawasan kebangsaan. Karena kebudayaan bangsa Indonesia pada dasarnya totalitas dari kebudayaan daerah yang ada di seluruh Indonesia. Di Lampung ada dua bentuk masyarakat adat Lampung: Saibatin dan Pepadun. Kedua-duanya mempunyai kesamaan pada adat yang pokok dan beragama pada tata-laksana, sarana dan busana adat istiadatnya. Karena itu sering muncul pengertian yang salah, bahwa orang Lampung terdiri dari dua etnis berbeda. Sebetulnya tidak berbeda, sekadar terdiri dari dua jughai (zuriah) penganut adat Lampung Saibatin dan Pepadun, pada satu tanah bumi (Lampung). Saibatin: semua buay orang Lampung di Lampung Barat, sebagian besar di Tanggamus, Kedondong, Way Lima, Ratai, Padang Cermin, Teluk Betung, dan Kalianda. Pepadun: semua buay Pubian Telu Suku, Abung Sewo Mego, Sungkai, Tulangbawang, dan Way Kanan. Adat Lampung yang pokok adalah: Pertama, sistem kekerabatan orang Lampung patrilinial. Karena itu "anak tertua" orang Lampung yang laki-laki, ketika ia telah berumah-tangga, otomatis menjadi penganyom dan pemimpin termasuk persoalan yang menyangkut adat bagi semua anak dan cucu ayahnya. Kedua, sistem tuha jaghu, tuha gha ja (Saibatin, Punyimbang) bagi semua keluarga besar sumbay dan buay. Ketiga, sistem ghasan sanak (sebambangan), membawa gadis secara resmi untuk dinikahi menjadi isteri, ada surat penerang (penepik) serta sedikit uang. Gadis yang dibambangkan menjelaskan "ia telah bertemu jodoh dibawa ke rumah orang tua si pulan bertujuan menikah, mohon rela dari ibu dan ayah menikahkan". Keempat, sistem ghasan sai tuha, ngukeh, ngantak salah atas perintah pimpinan adat bujang/pria yang ngebambang gadis, beberapa orang tua tua buay bujang segera datang ke rumah pimpinan adat si gadis melaporkan bahwa gadis mereka ada pada buay bujang, mohon disikapi secara baik. Para tua adat yang datang menyerahkan senjata (keris). Jika senjata yang diserahkan diterima pimpinan adat si gadis, terjadilah "damai" dan pernikahan bujang dan gadis yang sebambangan segera untuk dilaksanakan melalui musyawarah dan mufakat ghasan dandanan tua-tua kedua belah pihak. Kelima, sistem dau bulanja yaitu pemberian sejumlah uang (jujogh) dan uang adat lainnya dari keluarga bujang kepada keluarga gadis yang dilamar, maka si bujang berstatus ngakuk (sang istri sepenuhnya) dalam dan di bawah kedaulatan adat buay suaminya. Keenam, sistem bunatok, sesan, yaitu berbagai barang bawaan si istri berupa "perabotan rumah", buat perlengkapan rumah-tangga pasangan suami isteri, jika sang istri dijujogh secara adat seperti tersebut di atas. Ketujuh, sistem ghasan buhimpun (bermusyawarah), bagi hal-ihwal yang penting akan nayuh, bugawi, sehubungan ada anggota keluarga akan menikah atau telah menikah, ngeluagh, ngakughuk, ngejuk-ngakuk akan diresmi dirayakan, atau akan ditayuh digawikan (geghok). Dan ghasan buhimpun juga digelar ketika menetapkan gelar gelar adat (inai-adok, amai adek) warga yang akan diresmikan waktu nayuh "kawinan" atau nayuh, bugawi, karena tuha jaghu buay dinobatkan cakak suntan, cakak pepadun. Delapan, sistem peresmian (penobatan) pemberian glar adat "butetah", "nyanangken amai adek". Kesembilan, sistem menggelar nayuh, bugawi (gerok) melalui ucapan (tangguh/tenyawaan lisan), bukan dengan melalui "surat undangan", buat menghadirkan kelaurga besar; puaghi, kemanan, keminan, nakbai/menulung, lebu kelama, kenubi, indai/suaghi, sabai/pesabaian. (Tayuh bah mekonan) juga seperti itu, dengan menghadirkan tuha jaghu sumbay dan buay lain yang ada di pekon tempat nayuh bersangkutan. Tayuh balak juga seperti itu, dengan menghadirkan tuha jaghu buay, buay yang ada di marga yang nayuh serta tuha jaghu marga-marga lainnya. Kesepuluh, sistem nyambai, cangget, canggot, miah damar; para bujang (meghanai) dan gadis (muli) keluarga yang nayuh, bersama muli- meghanai warga tuha jaghu bah mekonan tadi, menggelar "malam gembira" pada malam hari di hari munus 1 menjelang hari "H" nayuh. Muli-meghanai tersebut menggembirakan tayuhan, dengan menari dan pantun balas berbalas (setimbalan), di bawah pimpinan kepala bujang sebagai jenang atau panglaku, diawasi tuha jaghu dan tua-tua "baya" (yang punya tayuhan). Inti pendana dan tulang belakang pendukung pelaksanaan sebuah tayuhan, yaitu batangan, kelama dan "puaghi menulung" yang di-tayuh-kan. Kesebelas, sistem buhaghak; prosesi arak-arakan tuha jaghu lapah di tanoh (sai tuha ngantak/nyunsung "maju" (pengantin) atau sanak besunat/anak khitanan. Kedua belas, sistem laki laki bukan kerabat dekat "mahram" tidak boleh bertandang ke perempuan atau gadis (ngobrol) dalam rumah atau menyepi di tempat lain, kecuali jika di situ ada suami atau laki laki mahram mereka. Ketiga belas, sistem tuha jaghu (pemimpin adat) tidak boleh kencing berdiri. Keempat belas, sistem pemimpin adat tidak boleh berbuat maksiat (melanggar perintah dan larangan Allah swt.), serta melawan hukum yang berlaku di dalam negara pada umumnya. Kelima belas, sistem terutama pemimpin adat tidak boleh menceraikan istrinya. Keenam belas, sistem laki laki tidak boleh "mandi" di pangkalan mandi perempuan, dan juga sebaliknya. Ketujuh belas, sistem mindai, sewaghi; angken mengangkan, saling menganggap "bersaudara" dunia akhirat, antara dua insan sama sama laki laki atau sama perempuan (tidak ada pertalian kerabat dekat), yang diterangkan di hadapan pemimpin adat kedua belah pihak karena ada keserasian watak yang positif, kesamaan alur berpikir, mentalitas dan moralitas mereka berdua sama baik Kedelapan belas, sistem "anjau silau", yaitu tengok-menengok berprinsip "silaturahmi", antara warga buay, sumbay yang satu kepada lainnya. Oleh karena itu, dari awal sejak status diri "bakal menjadi keluarga", yaitu setelah ada keputusan ghasan dandanan/ghasan sai tuha saling terima, akan melaksanakan perkawinan anak mereka. Kesembilan belas sistem manjau muli, bukadu, yaitu meghanai yang bermaksud menyunting muli untuk menjadi istri; meghanai tersebut dengan ditemani satu, dua orang atau lebih meghanai sahibnya, pada malam hari antara pukul 20.00--23.00, datang ke rumah orang tua muli "meminta (berdialog) dengan muli anaknya. Jika diizinkan, meghanai yang manjau tersebut dipersilahkan duduk di ruang tamu (lapang unggak) rumah orang tua muli, dan orang tua muli (ibu atau bersama ayah) muli berada di ruang tengah (lapang tengah) rumah, menyimak jalannya "manjau" tersebut. Kedua puluh; sistem muli dan perempuan muda juga yang tua, tidak boleh berpergian jauh (musafir) secara sendirian, tanpa ada laki laki kerabat (mahramnya) yang mengawal. Dan muli sebelum dia berumah tangga, juga yang "janda", mereka berada dan tunduk di bawah pengawasan dan kekuasaan ayah dan para paman mereka, didampingi para ibu, yaitu ibu mereka sendiri (kandung atau tiri), juga para istri paman (ina lunik, indui iran) si muli atau janda tadi. Adat Lampung yang pokok pada prinsipnya sama berlaku pada adat Lampung Saibatin dan Pepadun. Yang berbeda yaitu sekadar bentuk dan sebutuan namanya saja, seperti "pimpinan adat" di saibatin (s) "Saibatin", di pepadun (p) "Punyimbang". Misalnya, Saibatin, hajatan besar mengumpulkan semua keluarga besar; puaghi, minak-muaghi, menulung, lebu-kelama, sabai/pesabaian, indai/suwaghi, tuha jaghu sumbay, buay lain dan warganya karena perkawinan anak, khitanan anak, atau penobatan "pimpinan adat tertinggi" buay. Di Pepadun, bugawi (hajatan besar) serupa. Ada lima prinsip dasar etika sosial budaya orang Lampung. Gubernur kelima Lampung Poedjono Pranyoto pernah menganjurkan agar implementasi lima prinsip dasar etika tersebut dilestarikan terus. Pertama, pi'il pusenggighi. Pi'il yaitu sikap "aktif" menolong moril- material, membela, mendukung, (berbuat baik) kepada siapa pun yang pernah berbuat seperti itu terhadap Anda. Pusenggighi; sikap "pasif", sehingga meskipun kerabat dekat Anda ketika dia dalam kondisi berbahagia, mengadakan persedekahan syukuran, hajatan, nayuh, bugawi, resepsi, acara senang lainnya, jika Anda tidak dimintanya datang, Anda harus ber-pusenggighi, yaitu tidak usah datang. Termasuk ber-pusenggighi, yaitu sikap tak mau "minta minta" (tangan di bawah), dan dipermalukan. Kedua sakai sambayan, (Saibatin: hiough sumbay), yaitu sebuah sistem tolong menolong materiil secara adat; semua kepala rumah tangga warga sumbay, buay berkeharusan memberi "sesuduk" kepada yang nayuh, bugawi, berupa beras, beras ketan, ayam atau kambing, kelapa, gula, garam, minyak goreng dan "uang", kadernya menurut ketetapan adat buay yang bersangkutan. Ketiga nemui nyimah (Saibatin: mukuaghian musimah), yaitu sikap senang hati didatangi tamu dan pemurah (tidak pelit) terhadap tamu. Keempat nengah nyappur, (Saibatin: nengah nyampogh), yaitu suka bergaul (berinteraksi) secara baik, dengan siapa pun orang yang baik-baik, tidak senang mengisolasi diri. Kelima, bujuluk buadek, (Saibatin: pandai di jong ni dighi), yaitu sikap senantiasa "tahu diri", selalu ingat pada posisi dan fungsi diri, selaras gelar adat Lampung yang telah diberikan kepada seseorang, terutama para tuha jaghu, tuha ghaja (pemimpin adat) harus selalu sadar (titi teliti), bahwa ia adalah "pemimpin", banyak anak-buah dalam pimpinannya. Ia berkewajiban senantiasa bersikap ing ngarso sung telodo supaya yang dipimpinnya juga selalu mulus dan tulus, tut wuri handayani. Menurut hemat penulis, budaya adat Lampung adalah sejalan dengan ajaran agama (Islam). Rujukannya Alquran dan beberapa hadis Rasulullah saw. 1. Manusia dinasabkan ke suku ayahnya. 2. Hak yang tua dalam sebuah kelompok bersaudara atas yang muda mereka adalah seperti hak seorang ayah atas anaknya. 3. Hadis riwayat Al-Baihaqi dari Sa'id Al-khudry: Tidak termasuk dari golongan kami, orang yang tidak menyayangi yang muda kami, dan yang tidak mengindahkan yang tua kami. 4. Hadis riwayat Tarmizi: Dan perihal urusan mereka, bermusyawarahlah antara mereka. 5. Alquran surat Asy-Syuro ayat 38: Undanglah orang (buat walimah pernikahan), walau dengan hanya menyembelih seekor kambing. Dan masih banyak yang lain. Kesimpulan, kebudayaan bangsa Indonesia adalah totalitas kebudayaan yang ada di daerah-daerah Indonesia. Di daerah Lampung "orang Lampung" beradat Lampung "Saibatin" dan "Pepadun. Pada aspek itulah, maka Provinsi Lampung disebut "sai bumi ghua jughai". Pada sistem yang pokok adat Lampung tersebut adalah "sama", dan pada dasarnya budaya adat lampung adalah sejalan dengan ajaran agama, termasuk "falsafah" lima prinsip dasar etika sosial budaya Lampung seperti yang telah diuraikan, yang itu justru merupakan "pola" yang menjiwai adat Lampung itu sendiri. Sumber: Lampung Post, Selasa, 9 Januari 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Anda Menyukai Artikel ini Mohon Klik Like di Bawah ini:

Komentar: