Direktur Eksekutif Jung Foundation Lampung Heritage, penghayat kearifan lokal
Suku
bangsa Lampung dalam jejak rekam sejarah tercatat sebagai salah satu
suku bangsa yang memiliki peradaban tinggi. Fakta ini bisa disigi dan
tercermin dari warisan kebudayaan yang dimiliki ulun--sebutan untuk orang--Lampung baik yang teraga (tangible) maupun tak teraga (intangible).
Suku bangsa Lampung memiliki aksara baca-tulis yang bernama kaganga. Memiliki bahasa daerah dalam dua dialek nyow dan api, tatanan acuan pemerintahan dalam kitab Kuntara Raja Niti (Kitab Hukum Tata Negara), tradisi, arsitektur, sastra serta adat istiadat yang terus bertumbuhkembang turun-temurun.
Bagaimana
posisi kebudayaan Lampung dalam pergaulan kampung global kini? Apakah
Lampung dengan kekayaan ikon budaya dan kearifan lokalnya bisa ikut
menyumbang dan mewarnai kebudayaan global. Atau sebaliknya, Lampung
justru tenggelam dalam ikon modernitas dan budaya lokalnya tergerus dan
menuju kepunahan?
Budayawan
Lampung Anshori Djausal menengarai konservasi budaya Lampung berjalan
dinamis. Namun, dia juga tak kalah khawatir dan mengingatkan kalau saat
ini eksistensi kebudayaan Lampung dihadapkan pada dua tantangan besar.
Secara
internal, kita kekeringan pemikiran dan upaya pelestarian budaya,
pelaku budaya yang terbatas, pewarisan yang tersendat, banyak generasi
muda yang kurang peduli, keterbatasan sarana, dana, lemahnya database, dan rapuhnya kelembagaan adat.
Sedangkan
secara eksternal, budaya Lampung dihadapkan pada serbuan budaya global
melalui koran, radio, internet, dan televisi yang leluasa masuk ke ruang
privasi kita. (Lampung Post, 31 Oktober 2009).
Memang,
benar apa yang dikatakan Anshori, kalau kebudayaan Lampung ingin tetap
eksis harus menggiatkan konservasi yang lebih terarah, punya visi, dan
misi yang jelas.
Menurut
pengamatan penulis selama ini yang terjadi langkah konservasi dan
pelestarian yang dilakukan oleh berbagai dinas dan lembaga-lembaga
terkesan berjalan sendiri-sendiri, bahkan sering tumpang tindih
programnya.
Program-program yang ditaja dinas dan lembaga dalam upaya pelestarian terkesan hanya copy-paste dan sasarannya hanya itu ke itu saja. Bisa jadi ini karena lemahnya koordinasi antara stakeholder atau miskinnya pemikiran para decicion maker dalam membuat program yang tepat sasaran sehingga asal proyek berjalan mulus dan tahun depan kembali APBD tetap bergulir.
Konservasi
budaya Lampung bisa dilakukan bersama-sama dan bersinergi. Selain enam
aspek yang ditawarkan Anshori Djausal dalam upaya konservasi budaya
Lampung, penulis juga punya beberapa catatan yang bisa dijadikan acuan.
Langkah
yang paling penting saat ini, kalau memang punya niatan untuk melakukan
konservasi budaya Lampung dengan serius adalah memperkuat database dan membangun jejaring antarlembaga terkait dan pemangku kepentingan (stakeholder) baik yang ada di Lampung maupun di luar Lampung yang concern kepada kebudayaan (kesenian) Lampung.
Langkah
selanjutnya, perlunya menginventarisasi para pelaku budaya Lampung
dibarengi dengan membangun kantung-kantung kesenian di kampung-kampung
atau tiyuh. Ini sekaligus bisa dipetakan sanggar-sanggar. Lembaga
adat dan para pelaku budaya yang masih aktif. Kantung kebudayaan
(kesenian) ini juga dapat dijadikan wadah pewarisan tradisi, kesenian,
budaya, dan adat berlangsung.
Secara
berkala bisa digelar festival budaya dan seni tradisi di situsnya,
seperti yang dilakukan Soetanto Mendut dengan Festival Lima Gunungnya di
kawasan Lembah Tidar, Magelang. Sehingga kantung-kantung kesenian
(budaya) ini bisa bertumbuh kembang dan dijadikan destinasi wisata yang
unik dan muaranya akan memakmurkan para pelaku budaya dan masyarakat
setempat.
Penguatan Lembaga
Penguatan lembaga kesenian dan kebudayaan ini merupakan salah satu langkah penting. Lembaga-lembaga yang concern
dengan budaya Lampung harus duduk satu meja sehingga tak jalan sendiri
seperti selama ini menggodok konsep konservasi budaya yang bisa digarap
bersama dan saling mengisi.
Menurut pengamatan penulis yang terjadi selama ini banyak bendera organisasi yang berkibar mengusung tagline
budaya dan kesenian Lampung sebagai ladang pergerakan. Namun, kiprah
lembaganya tak jelas, bahkan banyak yang hanya sekadar papan nama.
Bahkan,
akhir-akhir ini ditengarai beberapa lembaga kebudayaan (kesenian) sudah
ikut larut dalam politik praktis. Fenomena ini bisa dilihat jika ada
helat pilkada digelar di daerah.
Sekali
lagi, penguatan lembaga ini sangat penting, karena lembaga yang
profesional dan punya jejaring baik regional maupun internasional bisa
menjadi sarana membawa budaya Lampung ke arena pergaulan kampung global.
Penguatan lembaga bisa dilakukan baik dari segi administrasi maupun
manajemen bisa menjadi bargaining power untuk fundrising dan mencari funding dalam menghidupi organisasi.
Ke depan penting digagas lahirnya lembaga Lampungologi--lembaga
kebudayaan yang benar-benar berkosentrasi pada budaya Lampung. Lembaga
ini tak harus lahir dari kalangan kampus (akedemisi), tetapi bisa dari
kalangan independen terdiri dari budayawan, intelektual, peneliti, dan
seniman.
'The Spirit of Lampung'
Selama ini konservasi budaya Lampung berjalan baru sebatas wadag
belum menyentuh ruhnya. Lihat saja pada proyek mercusuar Menara Siger,
gedung-gedung kantor yang berornamen Lampung dan pakaian adat Lampung
yang sesekali dipakai para pejabat dalam acara-acara protokoler.
Tetapi
apakah orang Lampung sudah memiliki semangat kelampungan dalam jiwanya?
Kalau, ya, tak bakalan terjadi Hadiah Sastra Rancage 2009 lepas dari
tangan Lampung, karena tak ada satu pun buku sastra Lampung yang ikut
serta dalam seleksi.
Dan, alasannya pun sangat memprihatinkan tak ada penerbit di Lampung yang merilisnya. Di mana piil kita? Sementara miliaran rupiah menggelontor dalam kancah pilkada. Tak satu pun buku sastra Lampung yang terbit sepanjang 2008.
Padahal,
orang Lampung sebagai salah satu masyarakat memiliki peradaban tinggi
mempunyai falsafah hidup sebagai refleksi atas kesemestaan. Masyarakat
adat Lampung pun punya piil pesenggiri, etos dan semangat kelampungan (the spirit of Lampung) sebagai dasar filosofinya.
Etos dan semangat kelampungan (spirit of Lampung) piil pesenggiri
ini mendorong orang bekerja keras, kreatif, cermat, dan teliti,
orientasi pada prestasi, berani kompetisi dan pantang menyerah atas
tantangan yang muncul. Semua karena mempertaruhkan harga diri dan
martabat seseorang untuk sesuatu yang mulya di tengah-tengah masyarakat.
Orang Lampung Pesisir menyebut: ghepot delom mufakat (prinsip persatuan); tetengah tetanggah (prinsip persamaan); bupudak waya (prinsip penghormatan); ghopghama delom beguai (prinsip kerja keras); bupiil bupesenggiri (prinsip bercita-cita dan keberhasilan).
Lampung Pepadun menyebut: piil pesenggiri (prinsip kehormatan); juluk adek (prinsip keberhasilan); nemui nyimah (prinsip penghargaan); nengah nyappur (prinsip persamaan); dan sakai sambayan (prinsip kerja sama).
Kearifan lokal ulun Lampung yang terkandung dalam semangat kelampungan piil pesenggiri ini bisa dijadikan modal dalam melakukan konservasi budaya Lampung.
Falsafah
ini pula yang harus menginpirasi dan menjadi spirit dalam mengonservasi
budaya Lampung yang sasarannya tak sekadar wadak, tetapi jiwa. Etos
kerja dan spirit of Lampung (semangat kelampungan) piil pesenggiri
harus terus digelorakan untuk membangun eksistensi budaya Lampung di
tengah kampung global. Kalau Lampung tak ingin tenggelam, dengan
semangat piil pesenggiri, kita harus berpikir lokal dan bertindak global. Begitu, Puaghi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar