Sabtu, 04 Agustus 2012

Seni Budaya Lampung Memiliki Nilai Tinggi, Perlu Pengamanan Hukum Formal




(Unila): Seminar dan dialog Sejarah serta Budaya Lampung dengan Tema “Paksi Pak Sekala Beghak” telah menghasilkan kesimpulan. Hal ini diliris oleh Ketua Pelaksana Kegiatan M. Basri S.Pd., M.Pd., bersama tim perumus seminar.
Tim ini diketuai oleh Drs. Abdul Syani, M.IP. (Sosiolog Universitas Lampung). Sementara anggotanya terdiri dari  Drs. Ali Imron, M.Hum. (Antropolog Universitas Lampung), Hendri Susanto,S.S., M.Hum. (Sejarawan Universitas Lampung), dan Dr. Wayan Mustika, S,Sn., M.Sn. (Peneliti Skala Bekhak).
Seminar yang digelar dalam rangka memperingati hari jadi FKIP Unila ke-44 ini dihadiri oleh Rektor Universitas Lampung (Unila)  Prof. Sugeng P. Harianto, Dekan FKIP Unila Dr. Hi. Bujang Rahman, M.Pd., serta ratusan peserta.
Pembicara seminar terdiri dari empat penyimbang paksi. Penyimbang Paksi Buay Nyerupa yakni Salman Alfarsi, Adok Suttan Piekulun Jayaningrat. Penyimbang Paksi Buay Blunguh yakni  M. Yanuar Firmansyah, Adok Suttan Junjungan Sakti. Penyimbang Paksi Buay Bejalan Di Way yakni  Wirda D. Puspanegara, Adok Khadin Singa. Penyimbang Paksi Buay Pernong yakni Hj. Erlina Rupaidah, SE, M.Si. Adok Batin Ayu Ingunan Paksi.

Dari pemaparan ke-4 Paksi Pak Sekala Beghak, baik dari Buay Bejalan Di Way, Buay Belenguh, Buay Nyerupa, maupun Buay Pernong, pada umumnya memiliki dasar yang kuat sebagai pemimpin (punyimbang) adat.

Dikatakan demikian, oleh karena tiap kepaksian memiliki tambo, data, bukti-bukti sejarah, dan profil kepemimpinan yang cukup memadai. Meskipun dipaparkan dalam waktu yang singkat, dengan kesiapan dan argumen akademis yang sederhana, namun telah mampu menarik perhatian pembahas dan peserta seminar. Khususnya telah  membuka wawasan ke depan tentang pentingnya menggali potensi nilai-nlai budaya masyarakat Lampung.

Dari seminar ini dapat diindentifikasi tentang sejarah berdirinya Paksi Pak Sekala Bekha yang berkaitan erat dengan berdirinya marga atau budaya lain. Baik yang ada di wilayah Lampung Barat, maupun di wilayah-wilayah lain di Provinsi Lampung.

Diakui juga pentingnya penggunaan bahasa lokal sebagai upaya pelestarian dan keragaman kosakatanya. Demikian halnya dengan pentingnya pengetahuan tentang perangkat adat, pengenalan makanan khas, dokumen bersejarah, artepak, dan senjata-senjata peninggalan pendahulunya.

Diketahui pula adanya silsilah keturunan kepaksian Sekala Beghak yang termasuk sudah cukup tua, yaitu berkisar antara 20 sampai dengan 24 generasi. Silsilah ini telah tertulis secara garis lurus menurut garis keturunan anak tertua laki-laki.

Hal ini telah cukup memadai, kandatipun belum tertulis secara lengkap silsilah menyamping ke arah keturunan saudara-saudara kandung, dan yang berkaitan dengan  silsilah-silsilahnya dari marga atau buay lain yang ada di wilayah Sekala Bekhak pada umumnya.

Secara umum dapat ditarik benang merah bahwa masyarakat suku Lampung adalah satu keturunan, sama-sama berasal dari nenek moyang yang sama dan berasal dari wilayah yang sama, yaitu dari Sekala Beghak. Meskipun masih banyak garis-garis putus antara generasi satu dengan lainnya, misalnya ada perbedaan jumlah generasi antara empat paksi, ada marga-marga yang belum diketahui secara pasti asal usul berdirinya.

Dari beberapa kritik dan saran yang dikemukan oleh para pembahas ahli dan peserta seminar, terungkap bahwa masih banyak marga-marga yang seolah terlepas dari kepenyimbangan (kepemimpinan adat) Paksi Pak Sekala Beghak, seperti: marga Punggawa Lima dan marga lainnya yang menyebar di Krui, yaitu: Way Sindi, Laay, Bandar, Pedada, Ulu Krui, Pasar Krui, Way Napal, Tenumbang, Ngambur, Ngaras, Bengkunat, Belimbing, Pugung Penegahan,  Pugung Melaya  Pugung Tampak,  dan Pulau Pisang.

Dari hasil seminar diketahui, disepakati, diakui, dan dimaklumi bahwa kepaksian di sekala bekhak memiliki hirarki adat, dari yang tertinggi sampai terndah, meliputi Sultan, Raja, Batin, Radin,Minak, Kemas, dan Mas.

Dalam garis dan peraturan adat tidak terdapat kemungkinan untuk membeli perangkat adat. Ini adalah warisan dari kerajaan Paksi Sekala Beghak. Kepangkatan seseorang dalam adat tidak dapat dinilai dari materi dan kekuatan, akan tetapi ditentukan oleh asal keturunan, akhlak, dan pengikut dalam lingkungan adat.

Saat syarat terpenuhi, kedudukan sesorang di dalam adat tidak perlu dibeli dengan harta dan benda, melainkan otomatis dinobatkan pada saat upacara adat perkawinan yang disebut dengan Nayuh.

Bagi masyarakat adat Saibatin, gelar atau adok hanya untuk punyimbang tertinggi Saibatin dan keluarganya. Gelar itu dilarang dipakai oleh orang lain. Hal ini mengisyaratkan bahwa kedudukan punyimbang adat  sangat menentukan dalam pembinaan  nilai-nilai dan norma-norma hukum adat dalam rangka mempertahankan keseimbangan hidup, kerukunan, kesejahteraan sosial, keamanan, dan kesejahteraan masyarakat adat.

Disepakti bersama bahwa kegiatan seminar ini tidak cukup untuk mengetahui dan memahami sejarah, asal-usul dan keragaman unsur-unsur budaya, khususnya Kepaksian Sekala Beghak. Oleh karena itu perlu adanya tindak lanjut, yaitu pertemuan ,diskusi, seminar, loka karya, dan musyawarah adat budaya secara kesinambungan.

Hal ini perlu apresiasi dan dukungan, baik dari pemerintah, lembaga-lembaga adat, wakil rakyat, akademisi, budayawan, pengamat budaya, pemuda-pemudi, masyarakat pemerhati budaya, dan para punyimbang adat itu sendiri. Tindak lanjut diharapkan dapat menggalami lebih lanjut tentang potensi dan sumber daya punyimbang adat, khususnya punyimbang adat kepaksian, khususnya Punyimbang adat Paksi Pak Sekala Beghak. Dengan demikian secara bersama-sama saling mendukung dalam kegiatan sosialisasi terhadap generasi muda sebagai penerus dan pemelihara kelestarian budaya.

Hasil seminar ini menunjukan perlu dilakukan idententifikasi, verifikasi, revitalisasi, dan pemetaan budaya, khususnya Paksi Pak Sekala Beghak dalam rangka pelestarian nilai-nilai budaya, itensifikasi pemahaman dan memperkaya khasanah budaya.

Untuk selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan keberpihakan, kecintaan, keterikatan, minat dan semangat masyarakat Lampung untuk membangun dan melestarikan adat buadaya Lampung, membumikan nilai-nilai luhur budaya sebagai landasan sikap perilaku dan kepentingan bersama sebagaimana ungkapan Rektor Universitas Lampung Sugeng P. Harianto dalam sambutannya pada seminar ini, “agar seminar ini tidak selesai begitu saja, harus ada tindak lanjut. Siapa yang mencemarkan Lampung, atau yang tidak bisa berbuat baik dan perdamaian, baiknya tidak usah berada di tanah Lampung ”.

Diharapkan agar nilai-nilai budaya Lampung semakin mendapat pengakuan, diperhitungkan, menjadi referensi bagi pembuat kebijakan, dan dihormati berbagai pihak. Baik ditingkat nasional maupuan internasional.

Hal ini penting, agar kebudayaan Lampung dapat bernilai guna dalam upaya menegakkan keadilan yang berpijak kepada nilai moral dan tata susila. Pada akhirnya dapat mengantarkan masyarakat Lampung menjadi masyarakat yang mandiri, percaya diri, independen, dan dapat menjadi mediator. Baik dalam upaya mengembangan budaya, menentukan arah kebijakan publik dalam pembangunan, maupaun dalam penyelesaiaan masalah-masalah sosial, budaya dan hukum.

Pada sisi lain, khususnya bagi para punyimbang Paksi Pak Sekala Beghak, mampu menjadi pengawas jalannya pemerintahan, bukan sebaliknya sebagai alat politik. Dengan demikian diharapkan para punyimbang Paksi Pak Sekala Beghak dapat memberi kontribusi bagi pelestarian nilai-nilai luhur budaya Lampung.

Rekomendasi praktis yang harus dilakukan sebagai tindak lanjut dari hasil seminar ini adalah perlu dilakukan penelitian untuk menggali dan melengkapi kekurangan  data masing-masing paksi, kemudian hasil penelitian ini diseminarkan sebagi bentuk tingka lanjut pelestarian budaya.

Dalam jenjang penelitian tersebut  diharapkan lebih rinci dan bertahap dalam forum (berjenjang). Mulai dari tahap inventarisasi/identifikasi terhadap masing-masing unsur budaya, tahap revitalisasi, pemahaman dan aplikasi, tahap pemeliharaan dengan rapat rutin antar kepaksian, yang akan melahirkan keputusan-keputusan adat yang menyangkut ketentuan pasal-pasal hukum adat sesuai dengan kebutuhan hidup bersama. Kegiatan ini bisa berkembang pada forum-forum dialog lintas kepaksian atau keratuan diluar Paksi Pak Sekala Bekha, atau forum lintas budaya di Indonesia dan atau lembaga-lembaga adat lain yang dianggap perlu.

Diharapkan kepaksian tersebut dapat berkontribusi bagi pemerintah dan pembangunan dengan berdasarkan hasil musyawarah budaya dan keputusan lintas kepaksian. Hal ini dimaksudkan agar lembaga adat lokal ini tidak menjadi lembaga tontonan, akan tetapi mampu mengontrol jalannya pemerintahan jika dianggap menyimpang dari nilai-nilai luhur budaya. Seperti korupsi misalnya, sebagaimana dimaksudkan dalam pernyataan George Junus Aditjondro di Yogjakarta beberapa bulan lalu yang mengatakan Kraton Yogjakarta seperti topeng monyet (pernyataan ini sempat membuat masyarakat adat Yogjakarta tersinggung).

Khususnya tentang eksistensi karya-karya budaya, seni budaya Lampung yang memiliki nilai tinggi, perlu diidentifikasi, dipeliharaan, dilestarikan dan diamanan dengan kekuatan hukum formal, agar tidak ada pihak-pihak atau negara lain yang mengklaim sebagai miliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Anda Menyukai Artikel ini Mohon Klik Like di Bawah ini:

Komentar: