Pendahuluan
Situs-situs Permukiman di Tulangbawang
Catatan:
Kehidupan
sehari-hari manusia seperti halnya makhluk hidup lainnya dipengaruhi
dan mempengaruhi lingkungannya. Berbeda dengan makhluk hidup lainnya,
hubungan timbal balik manusia dengan lingkungan sekitarnya dipengaruhi
oleh sistem budaya yang dimilikinya. Dengan demikian faktor budaya ini
sangat penting bagi manusia untuk melakukan proses adaptasi dengan
lingkungannya (Iskandar, 2001: 7).
Antara kebudayaan dan lingkungan alam terdapat hubungan timbal balik.
Kontinyuitas perkembangan kebudayaan dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan alam dan begitu pula sebaliknya. Menurut Koentjaraningrat culture (kebudayaan) berasal dari kata Latin colere
yang berarti “mengolah, mengerjakan,” terutama mengolah tanah atau
bertani. Berdasarkan arti kata tersebut, kebudayaan dapat dimaknai
“segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan
mengubah alam.”
Dalam perkembangannya, kebudayaan tidak
hanya diartikan seputar bercocok tanam. Kebudayaan merupakan berbagai
hal yang merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Pada
masyarakat yang kehidupannya sangat kompleks, wujud budayanya akan
meliputi juga sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa, dan sistem kenegaraan. Wujud kebudayaan seperti itu disebut peradaban atau civilization (Koentjaraningrat, 1990: 182). Tingginya tingkat peradaban manusia tersebut dipengaruhi oleh faktor interaksi dan strategi adaptasi dengan lingkungan.
Menurut Gordon Childe (1979: 12-14) evolusi peradaban manusia dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu savagery, barbarism, dan civilization. Tahap savagery
dianggap sebagaimana masa berburu dan mengumpulkan makanan. Pada masa
ini belum dikenal adanya hukum dan tata pemerintahan. Tahap barbarism
merupakan masyarakat bercocok tanam yang sudah mengenal hukum dan tata
pemerintahan secara sederhana dalam kelompok yang terbatas dan
tertutup. Sedangkan pada tahap civilization
adalah suatu masyarakat agrikultur dan industri. Kelompok masyarakat
ini sudah mengenal tata pemerintahan dan hukum adat yang telah teratur.
Selain
Childe, Flannery juga membagi evolusi peradaban menjadi tiga tahap.
Dasar pembagiannya pada adanya pemimpin dan penguasa. Menurut Flannery
(1979: 28-30) tahap evolusi peradaban terdiri dari egalitarian society, chiefdoms, dan stratified society.
Masyarakat egaliter menganggap bahwa semua derajad manusia dalam
masyarakat adalah sama, tidak ada tingkatan maupun klas. Masyarakat chiefdoms sudah ada pembagian klas antara pemimpin dan yang dipimpin. Sedangkan stratified society merupakan masyarakat heterogen dengan berbagai klas dan tingkatan.
Masyarakat yang demikian inilah yang sering dikatakan berperadaban
tinggi. Masyarakat berperadaban tinggi pada masa lampau dapat dikenali
berdasarkan tinggalan hasil budayanya.
Berdasarkan
beberapa kajian, masyarakat Indonesia sudah sejak lama berada pada
tingkat masyarakat berperadaban tinggi. Pada masa prasejarah tingginya
peradaban dikenal melalui tinggalan monumen yang berlatarkan pada
budaya megalitik. Masyarakat pada waktu itu dikatakan berperadaban
tinggi karena sudah mengenal sistem organisasi sosial. Bangunan seperti
menhir, dolmen, dan punden berundak menggambarkan adanya organisasi
sosial tersebut. Selain itu dikenal pula adanya dan spesialisasi kerja.
Pengetahuan tentang rancang bangun dan pengaturan kerjasama dalam
kelompok masyarakat inilah yang merupakan salah satu indikator
peradaban tinggi.
Selain
tinggalan bangunan megalitik, peradaban tinggi juga diperlihatkan pada
sistem subsistensi masyarakat yang berbasis pada budidaya tanaman
pangan yang tergantung pada sistem pengairan. Robert L. Carneiro berpendapat peradaban tinggi terbangun karena adanya keterkaitan dengan
kemajuan teknologi pertanian. Dengan adanya teknologi terjadi surplus
bahan pangan. Karena terjadi surplus tercipta waktu luang untuk
mengembangkan usaha-usaha lain, sehingga terjadi spesialisasi kerja
(Carneiro, 1970: 733-738). Teori ini dalam kenyataannya ditunjukkan oleh situs-situs pusat peradaban di Timur Tengah, Cina, Asia Selatan, dan Afrika Utara yang pada umumnya berada pada lembah-lembah subur.
Berdasarkan
dua kasus di atas, pada intinya peradaban tinggi ditandai dengan adanya
suatu sistem organisasi sosial. Secara kebetulan, dua kasus tersebut
berkenaan dengan masyarakat agraris. Sementara itu subsistensi
masyarakat tidak hanya berada pada sektor tersebut. Masyarakat yang
permukimannya berada di tepi danau atau sungai-sungai besar cenderung
menggantungkan hidupnya pada sektor nelayan atau petani ikan.
Masyarakat demikian ini misalnya terlihat pada masyarakat di
Tulangbawang. Beberapa situs permukiman kuna yang terdapat di
Tulangbawang tidak ada yang meninggalkan jejak berupa bangunan
megalitik. Sementara itu, sumber sejarah menunjukkan bahwa masyarakat
pada waktu itu sudah menjalin hubungan dagang dengan dunia luar.
Tomé Pires yang pernah singgah di Tulangbawang dalam perjalanannya dari Laut Merah ke Jepang pada tahun 1512 hingga 1515 memberitakan bahwa Tulangbawang merupakan
penghasil lada, emas, kapas, lilin, rotan, beras, ikan, dan
buah-buahan. Jalan masuk satu-satunya hanya melalui sungai. Perdagangan
dilakukan dengan Jawa dan Sunda. Barang dagangan dikumpulkan kemudian
dilakukan perdagangan antar pulau (Cortesão, 1967: 158 – 159). Salah
satu barang komoditas dari Tulangbawang adalah ikan. Sebagai masyarakat
yang tinggal di tepian sungai besar, sangat wajar bila salah satu
barang komoditas unggulannya adalah ikan. Masyarakat Tulangbawang dalam
menghasilkan ikan selain dari sungai juga dari lebak lebung yang ada di
sekitar permukiman. Hingga sekarang komoditas ini masih dijadikan
unggulan masyarakat. Posisi ikan dalam sektor perdagangan bagi
masyarakat Tulangbawang tentunya memerlukan pengelolaan dengan
melibatkan sistem organisasi. Dalam kaitannya dengan hal inilah
peradaban tinggi diperlihatkan. Permasalahan yang muncul selanjutnya
adalah bagaimana kaitan antara ikan dengan peradaban tinggi di
Tulangbawang.
Beberapa
situs permukiman kuna yang ditemukan di Tulangbawang berada di tepian
sungai. Situs-situs tersebut antara lain adalah Benteng Sabut, Keramat
Gemol, Benteng Minak Tumenggung, Batu Putih, dan Gunung Terang. Sebagai
masyarakat penghasil ikan, permukiman tersebut selain berada di tepian
sungai juga dekat dengan lebak lebung. Gambaran sekilas tentang
situs-situs tersebut sebagai berikut.
Situs Benteng Sabut (Saptono, 2008: 47 – 49). Secara geografis situs ini berada pada kelokan Way (Sungai) Kiri pada posisi 4°30’20” LS dan 105°00’21” BT, secara administratif termasuk wilayah Kampung Gunungkatun. Kondisi situs berupa lahan yang dikelilingi parit dan benteng tanah. Di
sebelah barat situs terdapat aliran Way Pikuk. Di sebelah selatan muara
Way Pikuk terdapat muara Way Papan. Di sekitar Benteng Sabut terdapat
beberapa rawa (bawang) antara lain Bawang Kelapo terdapat di sebelah barat dan Bawang Petahi di sebelah timur laut benteng.
Tradisi lisan masyarakat menyebutkan bahwa pemukiman di Benteng Sabut dibuka oleh Minak Kemala Kota. Minak
Kemala Kota mempunyai tiga keturunan yaitu Tuan Riou Nyembang Luih,
Namo, dan Bulan. Namo menikah dengan Moyang Runjung. Pernikahan antara
Moyang Runjung dengan Putri Minak Kemala Kota bernama Namo selanjutnya
menurunkan tokoh-tokoh Marga Tegamoan yaitu Tuan Rio Mangkubumi yang
berkedudukan di Pagardewa, Tuan Rio Tengah yang berkedudukan di Meriksa
(Menggala), dan Tuan Rio Sanaah yang berkedudukan di Panaragan. Hilman
Hadikusuma menerangkan bahwa Runjung adalah anak Minak Sebala Kuwang.
Runjung menikah dengan Senama, yaitu anak Putri Bulan saudara Ratu
Dipuncak. Dari perkawinan ini menurunkan Tuan Riyo Mangkubumi, Tuan
Riyo Tengah, dan Tuan Riyo Sanak (Hadikusuma, 1989: 47).
Situs Keramat Gemol (Saptono, 2008: 51 – 53). Secara geografis situs ini berada pada posisi 4°29’14” LS dan 105°02’15”
BT, secara administratif termasuk dalam wilayah Kampung Panaragan.
Situs berada pada kelokan sungai di sebelah barat Way Kiri. Di sebelah
timur situs merupakan pertemuan antara Way Kiri dengan Way Gemol. Way
Gemol yang merupakan anak sungai Way Kiri mengalir di sebelah tenggara
situs.
Lahan situs dikelilingi parit dan benteng tanah dan parit, kecuali di sisi barat laut yaitu berbatasan langsung dengan Way Kiri. Pada
sekeliling areal situs berjarak antara 200 – 500 m terdapat semacam
lembah. Di sebelah selatan benteng, lembah bermula dari Way Kiri
(sebelah tenggara) memutar ke arah selatan hingga barat daya dan
berakhir di sebelah barat benteng. Lembah ini disebut kandungan
Badak. Di sebelah utara benteng, lembah juga bermula dari Way Kiri
memutar ke arah barat laut hingga ke arah barat. Lembah ini disebut kandungan Minak Muli.
Menurut
tradisi lisan masyarakat, tokoh yang membuka perkampungan dan juga
sebagai pemimpin di Keramat Gemol adalah Minak Indah. Tokoh ini
merupakan keturunan dari salah satu tokoh marga Tegamoan di
Tulangbawang. Pada marga tersebut terdapat tiga orang tokoh yaitu Tuan
Rio Mangkubumi, Tuan Rio Tengah, dan Tuan Rio Sanaah.
Tuan Rio Mangkubumi bermukim di Pagardewa, mempunyai anak di antaranya Minak Kemalabumi dan Minak
Sang Putri. Tuan Rio Mangkubumi dimakamkan di Pagardewa. Tuan Rio
Tengah bermukim di Menggala dan dimakamkan di Meriksa (Menggala). Tuan
Rio Sanaah bermukim di Panaragan dan dimakamkan di Gunung Jejaiwai
(Panaragan).
Tuan Rio Sanaah yang tinggal di Panaragan mempunyai keturunan Minak Indah, Minak Ma’dum, Minak Raja Ratu, dan Minak Sang Putri (Menteri). Di samping itu juga mengangkat Minak Rio Bageduh, Minak Raja Malaka, dan Prajurit Puting Gelang. Ketiga tokoh ini berasal dari Minangkabau.
Situs Benteng Minak Temenggung. Situs ini berada di sebelah barat Way Tulangbawang, sebelah timur Kampung Penumangan berjarak lurus sekitar 3 km atau pada posisi 4°27’02” LS dan 105°07’52” BT. Berdasarkan gejala yang terlihat, benteng tersebut membujur dengan orientasi utara – selatan dengan panjang 600 hingga 800 m. Ujung utara benteng bermula pada Bawang Potat dan pada ujung selatan pada Bawang Bakon.
Keberadaan situs Benteng Minak Temenggung berhubungan dengan etno-sejarah mengenai tokoh Minak Temenggung. Sebagian masyarakat menyatakan bahwa Minak Temenggung adalah tokoh yang ada hubungannya dengan masyarakat Pagardewa. Sebagai tokoh besar Minak Temenggung memegang jabatan penting dalam membangun masyarakat Pagardewa di bawah naungan Kesultanan Banten.
Situs Batu Putih (Saptono, 2006: 93 – 95). Secara administratif situs ini termasuk dalam wilayah Kampung Gunung Terang, Kecamatan Gunung Terang. Keramat
Batu Putih berhubungan dengan riwayat lima moyang yaitu Patih Trio
Terbumi yang dimakamkan di Negeri Besar, Minak Trio Bumi dimakamkan di
Gunung Terang, Minak Serio Bumi dimakamkan di Bakung, Minak Buay Sugih
dimakamkan di Batu Putih, dan Minak Kemala yang makamnya ada di Negeri
Batin.
Kawasan
Batu Putih berada di sebelah selatan Way Kanan. Di kawasan ini terdapat
beberapa sungai kecil yang bermuara di Way Kanan. Sugai-sungai tersebut
adalah Way Kemerting yang mengalir di bagian paling hulu (barat). Ke
arah hilir terdapat aliran Way Mejelapai. Ke arah hilir lagi terdapat
beberapa cekungan-cekungan yang disebut kandungan. Situs Batu Putih berada di antara dua kandungan.
Situs Gunung Terang (Saptono, 2004: 42 – 54). Secara administratif situs ini terdiri
dari Kampung Gunung Terang dan Gunung Agung, namun secara fisik kedua
kampung tersebut menyatu. Pemukiman secara umum berada di tepian Way
Kanan sebelah timur dan utara aliran sungai. Pola pemukiman memanjang
utara – selatan. Kampung Gunung Agung berada di bagian selatan
sedangkan di bagian utara merupakan Kampung Gunung Terang. Di daerah
ini aliran Way Kanan berkelok-kelok. Bermula dari arah barat daya
menuju arah barat laut. Di dekat pemukiman sungai berbelok ke arah
selatan kemudian ke arah timur. Pada kelokan sungai dari arah utara ke
arah timur masyarakat menyebutnya Lubuk Kali Mangkuk.
Aliran Way Kanan dari Lubuk Kali Mangkuk ke arah timur terdapat
pertemuan sungai antara Way Ngisen dengan Way Kanan. Way Ngisen bermula
di Bawang Ngisen yang berada di sebelah barat laut kampung. Di bagian
hilir sungai ini disebut Tulung Mayat. Di dekat muara Way Ngisen
terdapat bukit kecil yang disebut Gunung Sri Gandow.
Pada bagian selatan pemukiman terdapat cekungan parit yang disebut pelantingan, membujur
dari selatan ke utara hingga Way Ngisen. Parit ini dijadikan batas
antara Kampung Gunung Agung dengan Gunung Terang. Di bagian utara
pemukiman juga terdapat parit/sungai buatan yang menghubungkan antara
Way Kanan dengan Way Ngisen. Sungai ini disebut Sungai Pengaliran
Darah. Kawasan di sebelah selatan dan timur perkampungan terdapat
beberapa lebung antara lain Lebung Seroja yang terdapat di antara pelantingan
dengan Way Kanan, Lebung Kibang terdapat di sebelah barat laut Gunung
Sri Gandow, dan Lebung Tikak yang berada di sebelah timur kampung.
Mengenai tokoh cikal bakal masyarakat Gunung Terang
adalah Minak Sekendar Alam. Keturunan Minak Sekendar Alam di antaranya
tiga laki-laki yaitu Tuan Riou Terbumi, Minak Patih Seriou Bumi, dan
Minak Riou Bumi. Tuan Riou Terbumi dimakamkan di sebelah hilir Moyang
Purba, Negeri Besar, menurunkan Suku Tepuk Gabou. Minak Patih Seriou
Bumi dimakamkan di Gunung Terang keturunannya disebut Suku Pinggir Way.
Minak Riou Bumi dimakamkan di Kurindang, Meriksa menurunkan Suku Tepuk
Gedung.
Ikan dan Sistem Organisasi
Masyarakat
di Tulangbawang banyak yang menggantungkan pada sumberdaya alam hayati
berupa ikan. Di Tulangbawang keberadaan ikan itu sendiri berhubungan
erat dengan lebak lebung sebagai habitat ikan. Lebak lebung dapat difahami sebagai the commons,
yaitu sesuatu yang dianggap milik semua orang atau bukan milik
siapa-siapa sehingga setiap orang bebas mengakses untuk memanfaatkan. Kajian Garrett Hardin (1968: 1244), menyatakan bahwa apabila masyarakat salah dalam mengelola the commons akibatnya akan terjadi suatu bencana besar. Tragedy of the commons disebabkan karena
jumlah penduduk terus meningkat sementara sumberdaya alam terbatas.
Kondisi demikian ini pada gilirannya akan terjadi situasi di mana
sumberdaya alam tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan manusia. Sementara
itu, manusia terjebak pada konsep untuk mengakses sumberdaya alam
secara tanpa batas.
Pada beberapa masyarakat ternyata secara kolektif mampu mengelola the commons sehingga dapat dimanfaatkan secara turun temurun. Masyarakat nelayan di Great Lake, yang meliputi Danau Erie dan St. Clair,
Kanada mengelola penangkapan ikan dengan cara membagi areal berdasarkan
alat tangkap. Selain itu pada masa-masa tertentu dilakukan pengosongan
jaring. Pembatasan jumlah nelayan yang beroperasi juga dilakukan.
Pengelolaan seperti itu berlangsung secara turun temurun dari generasi
ke generasi (Berkes, 1985).
Sedikit berbeda dengan yang di Great Lake tersebut, sumberdaya alam yang tersedia di Tulangbawang berupa lebak lebung. Lebak merupakan kawasan rawa yang genangan airnya dipengaruhi air hujan atau luapan sungai. Lebak biasanya berada di antara dua sungai besar di dataran rendah. Berbeda dengan rawa pasang surut yang genangan airnya dipengaruhi pasang surut air laut harian, lebak tergenang selama musim hujan dan berangsur-angsur kering pada musim kemarau.
Ada tiga jenis lebak berdasarkan tinggi dan lama genangan. Lebak pematang atau dangkal, bila genangannya kurang dari 50 cm selama kurang dari 3 bulan; lebak tengahan, dengan genangan air antara 50 - 100 cm selama 3 - 6 bulan; dan lebak dalam bila genangan airnya lebih dari 100 cm selama lebih dari 6 bulan. Kawasan lebak dalam yang menghasilkan produksi ikan secara alami dikenal dengan istilah lebak lebung.
Beberapa situs permukiman di Tulangbawang pada umumnya berada dekat dengan pedataran limpah banjir (floodplain).
Situs Benteng Sabut, Keramat Gemol, Benteng Minak Tumenggung, Batu
Putih, dan Gunung Terang lokasinya dikelilingi pedataran limpah banjir
berupa bawang (rawa), kandungan (lahan yang lebih rendah dari daerah
sekitar), dan lebak lebung. Lahan berupa pedataran limpah banjir dapat difungsikan sebagai lebak lebung. Perairan tipe sungai dan rawa banjiran mempunyai ciri khas, yaitu di mana fluktuasi air yang sangat berbeda antara musim penghujan dan musim kemarau. Pada musim penghujan air sungai meluap hingga menggenangi sebagian besar arealnya kecuali bagian tanah yang tinggi, sebaliknya pada musim kemarau air sungai menjadi surut dan sebagian besar arealnya kering kecuali bagian yang dalam meliputi sungai utama dan lebung (Welcome, 1985).
Rawa-rawa di DAS Tulangbawang menyokong kehidupan sejumlah penting ikan, baik dalam hal keanekaragaman jenis maupun jumlah hasil panennya yang telah memberikan sumbangan yang berarti bagi penghasilan masyarakat setempat. Setidaknya terdapat 88 jenis ikan yang terdapat di sekitar rawa-rawa di DAS Tulang Bawang tersebut. Beberapa jenis ikan rawa yang ekonomis penting antara lain: arwana, belida, jelabat, tawes, seluang, lais, gabus, baung, lele, gurami, dan lain-lain. Beberapa jenis ikan-ikan ini secara periodik beruaya dari rawa ke sungai atau sebaliknya. Pada waktu air sungai meluap menggenangi rawa di sekitarnya, beberapa jenis ikan melakukan migrasi ke rawa tersebut dan memijah di lokasi tersebut. Lokasi ini juga merupakan lokasi bagi pembesaran anakan ikan (nursery ground).
Pemanfaatan lebung
sebagai sumber ikan sudah berlangsung sejak lama. Aktifitas penangkapan
ikan dilakukan pada akhir musim penghujan atau awal musim kemarau. Pada musim penghujan di mana air sungai besar melimpah, lebung akan terisi air dan ikan akan memasukinya.
Ketika musim kemarau, air kembali ke sungai besar. Pada saat itu di
pintu masuk lebung dipasang jebakan dan perburuan ikan di lebung
dilakukan. Sampai sekarang pola penangkapan ikan dengan sistem
pemanfaatan lebung masih berlanjut dikelola secara tradisional oleh marga (Djausal, 1996).
Meskipun pelaksana penangkapan oleh banyak orang namun operasional
pengelolaannya berada di tangan kepala marga. Hasil dari perburuan ini
kemudian diperuntukkan bagi masyarakat anggota marga. Dalam hal ini
terjadi model pertukaran redistribusi. Pada saat sekarang di mana
sistem pemerintahan adat marga sudah tidak berlaku secara efektif,
pengelolaan lebak lebung berada di tangan pemerintah.
Gambaran pengelolaan sumberdaya alam berupa lebak lebung
juga terjadi pada masa ketika situs-situs permukiman dihuni. Kalau pada
masa sekarang terdapat pemerintahan adat marga, dahulu dikelola oleh
kepala kampung. Tomé Pires yang pernah mengunjungi Lampung menjumpai
kelompok masyarakat yang masih
kafir terutama yang tinggal di daerah hulu (Cortesão 1967: 158).
Masyarakat pra-Islam yang oleh Tomé Pires disebut dengan istilah cafre juga dijumpai di pedalaman Banda. Mereka tidak mempunyai kerajaan tetapi desa-desanya diperintah oleh cabila
dan orang tua-tua. Sistem pemerintahan seperti ini menurut Antonio
Galvao juga terdapat di Maluku. Mereka bermukim dalam lokasi tertentu
dengan batas-batas wilayah yang jelas. Keperluan hidup sehari-hari
dipenuhi secara bersama-sama. Masyarakat ini juga dipimpin oleh orang
tua yang dianggap lebih baik dari pada yang lainnya (Tjandrasasmita,
1984: 174).
Sistem
pemerintahan seperti ini merupakan budaya bangsa Indonesia sejak zaman
sebelum mendapat pengaruh India (Hindu-Buddha). Masyarakat pra-Hindu
sudah memiliki tingkat hidup yang sama dengan apa yang terdapat dalam
struktur sosial dan kehidupan sosial-ekonomi bangsa Indonesia di
berbagai daerah pada masa sekarang. Pertanian dengan irigasi dan sistem
administrasi memunculkan negara-negara patrimonial-birokratis dalam
berbagai ukuran. Pada saat yang sama terdapat pula bentuk-bentuk
organisasi desa-desa yang sangat berkembang dengan keluarga-keluarga
sebagai intinya. Orang tua-tua desa sebagai pengawas terhadap wilayah
kadang-kadang juga sebagai kepala-kepala yang patrimonial
(Tjandrasasmita, 1984: 175).
Pola
pemerintahan patrimornial terlihat pula pada sistem pemerintahan adat
marga. Pemerintahan adat marga di Tulangbawang mengenal pola
kepemimpinan secara kolektif terdiri dari para anggota keluarga tertua
dari masing-masing keturunan yang disebut punyimbang. Punyimbang tertua merupakan pemegang
status sosial tertinggi di antara masyarakat kelompoknya. Punyimbang
dari keturunan kedua bertindak sebagai kelompok masyarakat yang menjaga
kehormatan kelompok lebih tua pemegang status sosial tertinggi.
Punyimbang ketiga dari keturunan ketiga bertindak sebagai kelompok
pelaksana ekonomi, pengatur pertanian dan perniagaan.
Punyimbang-punyimbang yang datang untuk bergabung yang bukan bukan
merupakan kerabat tidak punya kedudukan dalam pengaturan tetapi sebatas
mengatur kerabat masing-masing. Masyarakat Lampung dalam berserikat dan
berkumpul dalam satu kelompok akan menuakan,
menghormati, dan menempatkan kedudukan tertinggi kepada punyimbang asal
keturunan yang disebut punyimbang marga atau punyimbang paksi
(Hadikusuma, 1989: 7 – 8). Kondisi masyarakat seperti itu berlangsung
sejak zaman sebelum Islam.
Tradisi
lisan masyarakat Tulangbawang yang menghubungkan bekas perkampungan tua
dengan tokoh moyang tertentu memberikan gambaran bahwa mereka sudah
mengenal sistem organisasi. Gambaran sistem organisasi pada berbagai
masyarakat dapat terlihat dari tinggalan budaya fisik. Bangunan seperti
punden berundak dan menhir dari masa prasejarah walaupun lebih bersifat
religi namun memberi pula gambaran kehidupan sosial masyarakat.
Pertanian dengan sistem irigasi memberikan gambaran kehidupan sosial
masyarakat agraris. Bagi masyarakat nelayan darat atau petani ikan
sebagaimana di Tulangbawang, lebak lebung yang berada di sekitar situs
pemukiman dapat memberi gambaran dinamika masyarakat pada waktu itu
dalam mengelola sumber perikanan.
Simpulan
Salah
satu ciri masyarakat berperadaban tinggi adalah merupakan masyarakat
yang terstruktur. Pada masyarakat itu sudah dikenal adanya pemimpin dan
yang dipimpin. Bukti arkeologis yang menunjukkan hal itu misalnya
bangunan megalitik. Aktifitas ritual masyarakat memberi gambaran
sekitar penghormatan kepada tokoh tertinggi.
Beberapa
situs permukiman di Tulangbawang tidak ada yang meninggalkan jejak
berupa bangunan megalitik. Adanya sistem organisasi yang terlihat
hingga sekarang adalah pengelolaan sumberdaya alam berupa lebak lebung
oleh pemerintah adat marga. Sistem demikian ini berlangsung secara
turun temurun dari generasi ke generasi. Situs-situs permukiman kuna di
Tulangbawang banyak yang berada dekat dengan lebak lebung. Pemilihan
lokasi yang demikian ini menunjukkan bahwa pada masa itu lebak lebung
juga sudah dikelola.
Daftar Pustaka
Berkes, Fikret. 1985. The Common Property Resource Problem and the Creation of Limited Property Rights. Dalam Human Ecology, Vol. 13, No. 2, hlm. 187 – 208.
Carneiro, Robert L. 1970. A Theory of the Origin of the State. Dalam Science 169, hlm. 733 – 738.
Childe, V. Gordon. 1979. The Urban Revolution. Dalam Gregory L. Possehl (ed.) Ancient Cities of the Indus. Durham: Carolina Academic Press.
Cortesão, Armando. 1967. The Suma Oriental of Tomé Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprin Limited.
Djausal, Anshori. 1996. Pendekatan Lingkungan Dalam Pembangunan Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulangbawang. Makalah dalam Seminar Pembangunan Masyarakat Tulangbawang.
Bandar Lampung, 29 – 30 Maret 1996. Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah (Bappeda) Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulangbawang.
Hadikusuma, Hilman. 1989. Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Bandung: Mandar Maju.
Hardin, Garrett. 1968. The Tragedy of the Commons. Dalam Science 162, hlm. 1243 – 1248.
Iskandar, Johan. 2001. Manusia Budaya dan Lingkungan. Bandung: Humaniora Utama Press.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Saptono, Nanang. 2004. Struktur “Kota” Kuna Gunung Terang, Tulangbawang, Lampung. Dalam Agus Aris Munandar (ed.), Teknologi dan Religi Dalam Perspektif Arkeologi, hlm. 42 – 54. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Saptono,
Nanang. 2006. Konsepsi dan Struktur Pemukiman di Situs Batu Putih,
Gunung Terang, Tulangbawang, Lampung. Dalam Agus Aris Munandar (ed.), Widyasancaya, hlm. 91 – 102. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Saptono, Nanang. 2008. Keletakan Antara Tiyuh dan Umbul Pada Permukiman Masyarakat Lampung. Dalam Kresno Yulianto (ed.), Dinamika Permukiman Dalam Budaya Indonesia, hlm. 45 – 64. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Tjandrasasmita, Uka. 1984. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.
Welcome, R.L. 1985. River Fisheries. FAO Technical paper 262. FAO. Rome.
Tulisan
ini merupakan bagian dari buku berjudul Dari Masa Lalu ke Masa Kini:
Kajian Budaya Materi, Tradisi, dan Pariwisata. Editor Dr. Wanny
Rahardjo Wahyudi. Jatinangor: Alqa Print, 2010. Halaman 5 – 16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar