Situs Pugungraharjo merupakan komplek kepurbakalaan yang menarik untuk dikaji. Situs tersebut diketahui pertama kali pada tahun 1957 dengan ditemukannya sebuah arca, yang oleh masyarakat disebut “putri Badariah”. Namun penelitian di daerah ini baru dimulai pada tahun 1968 oleh Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional. Selanjutnya secara berturut-turut pada tahun 1975 dan 1977 Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional mengadakan survei di daerah tersebut. Kegiatan penelitian yang lebih intensif di situs Pugungaharjo dimulai pada tahun 1980 oleh tim yang diketuai oleh Haris Sukendar. Selain kegiatan penelitian, juga telah dilaksanakan kegiatan pemugaran oleh Direktorat Sejarah dan Purbakala yang dimulai pada tahun 1977.
Dari penelitian-penelitian tersebut dapat diidentifikasi bahwa situs Pugungraharjo merupakan suatu komplek yang dikelilingi benteng tanah dan parit. Sejumlah temuan yang terdapat di dalam dan di luar benteng berupa batu berlubang, batu bergores, kompleks “batu mayat”, batu lumpang, dan punden berundak. Berdasarkan hasil penelitian, para ahli ada yang menyimpulkan bahwa situs Pugungraharjo berasal dari masa prasejarah dan ada pula yang menyimpulkan berasal dari masa klasik.
Dalam kajian ini akan dicoba untuk dilakukan penentuan periode situs Pugungraharjo berdasarkan gaya bangunan. Tinggalan arkeologis yang diamati adalah Punden VI atau punden terbesar yang terdapat di situs Pugungraharjo.
Sesuai dengan tujuan tersebut di atas, dalam kajian ini diterapkan tipe penelitian eksplanatif dengan pendekatan studi interpretatif dan teoritik. Dalam tipe penelitian ini unsur utamanya adalah penjelasan. Dengan demikian terdapat pula di dalamnya hipotesis dan teori. Hanya saja perhatian lebih diarahkan pada upaya untuk melahirkan interpretasi baru guna meningkatkan derajat keterdukungan teori (Kusumohartono, 1987: 19 –20; Gibbon, 1984: 81 – 82).
Menurut Haris Sukendar tinggalan-tinggalan arkeologis di situs Pugungraharjo sebagian besar berada di dalam benteng. Demikian pula temuan-temuan artefaktual berupa pecahan gerabah, keramik, manik-manik dan lain-lain. Sedangkan bagian di luar benteng tidak menghasilkan suatu temuan arkeologis. Dengan demikian disimpulkan bahwa keaktifan kehidupan masyarakat berada di dalam benteng. Selanjutnya Haris Sukendar menyatakan bahwa berdasarkan bentuk bangunan teras berundak di Pugungraharjo tampaknya mengacu kepada bentuk gunung yang dianggap tempat suci, fungsinya berkaitan dengan pemujaan arwah (Sukendar, 1996/1997: 5 – 6). Dari data tersebut Haris Sukendar cenderung mengatakan bahwa situs Pugungraharjo merupakan situs yang berasal dari masa tradisi megalitik (Sukendar, 1979).
Sementara itu dengan adanya temuan arca, Endang Sh. Soekatno menyatakan bahwa berdasarkan jenis sikap tangan (mudra) arca tersebut menggambarkan salah satu tokoh tantrisme. Sehingga disimpulkan bahwa situs Pugungraharjo merupakan salah satu contoh tradisi megalitik yang berkembang pada masa sesudah prasejarah (Soekatno, 1985: 166).
Rita Istari yang mengadakan penelitian tentang manik-manik Kemiling menyimpulkan bahwa situs Pugungraharjo berasal dari masa setelah berkembangnya tradisi megalitik, bahkan kemungkinan sejaman dengan kerajaan Majapahit. Kesimpulan ini diajukan berdasarkan adanya temuan berupa manik-manik dalam jumlah yang cukup banyak. Manik-manik tersebut ditemukan bercampur dengan kelintingan kecil yang terbuat dari bahan perunggu. Temuan manik-manik dan kelintingan kecil tersebut terkonsenrasi di bagian tengah teras berundak (Istari, 1996: 25 – 31). Kemungkinan mengenai umur bangunan ini didukung pula dengan adanya temuan berupa batu tufa berangka tahun 1247 çaka. Batu tufa tersebut merupakan salah satu temuan permukaan yang ditemukan bersama dengan manik-manik.
Dari penelitian-penelitian tersebut dapat diidentifikasi bahwa situs Pugungraharjo merupakan suatu komplek yang dikelilingi benteng tanah dan parit. Sejumlah temuan yang terdapat di dalam dan di luar benteng berupa batu berlubang, batu bergores, kompleks “batu mayat”, batu lumpang, dan punden berundak. Berdasarkan hasil penelitian, para ahli ada yang menyimpulkan bahwa situs Pugungraharjo berasal dari masa prasejarah dan ada pula yang menyimpulkan berasal dari masa klasik.
Dalam kajian ini akan dicoba untuk dilakukan penentuan periode situs Pugungraharjo berdasarkan gaya bangunan. Tinggalan arkeologis yang diamati adalah Punden VI atau punden terbesar yang terdapat di situs Pugungraharjo.
Sesuai dengan tujuan tersebut di atas, dalam kajian ini diterapkan tipe penelitian eksplanatif dengan pendekatan studi interpretatif dan teoritik. Dalam tipe penelitian ini unsur utamanya adalah penjelasan. Dengan demikian terdapat pula di dalamnya hipotesis dan teori. Hanya saja perhatian lebih diarahkan pada upaya untuk melahirkan interpretasi baru guna meningkatkan derajat keterdukungan teori (Kusumohartono, 1987: 19 –20; Gibbon, 1984: 81 – 82).
Menurut Haris Sukendar tinggalan-tinggalan arkeologis di situs Pugungraharjo sebagian besar berada di dalam benteng. Demikian pula temuan-temuan artefaktual berupa pecahan gerabah, keramik, manik-manik dan lain-lain. Sedangkan bagian di luar benteng tidak menghasilkan suatu temuan arkeologis. Dengan demikian disimpulkan bahwa keaktifan kehidupan masyarakat berada di dalam benteng. Selanjutnya Haris Sukendar menyatakan bahwa berdasarkan bentuk bangunan teras berundak di Pugungraharjo tampaknya mengacu kepada bentuk gunung yang dianggap tempat suci, fungsinya berkaitan dengan pemujaan arwah (Sukendar, 1996/1997: 5 – 6). Dari data tersebut Haris Sukendar cenderung mengatakan bahwa situs Pugungraharjo merupakan situs yang berasal dari masa tradisi megalitik (Sukendar, 1979).
Sementara itu dengan adanya temuan arca, Endang Sh. Soekatno menyatakan bahwa berdasarkan jenis sikap tangan (mudra) arca tersebut menggambarkan salah satu tokoh tantrisme. Sehingga disimpulkan bahwa situs Pugungraharjo merupakan salah satu contoh tradisi megalitik yang berkembang pada masa sesudah prasejarah (Soekatno, 1985: 166).
Rita Istari yang mengadakan penelitian tentang manik-manik Kemiling menyimpulkan bahwa situs Pugungraharjo berasal dari masa setelah berkembangnya tradisi megalitik, bahkan kemungkinan sejaman dengan kerajaan Majapahit. Kesimpulan ini diajukan berdasarkan adanya temuan berupa manik-manik dalam jumlah yang cukup banyak. Manik-manik tersebut ditemukan bercampur dengan kelintingan kecil yang terbuat dari bahan perunggu. Temuan manik-manik dan kelintingan kecil tersebut terkonsenrasi di bagian tengah teras berundak (Istari, 1996: 25 – 31). Kemungkinan mengenai umur bangunan ini didukung pula dengan adanya temuan berupa batu tufa berangka tahun 1247 çaka. Batu tufa tersebut merupakan salah satu temuan permukaan yang ditemukan bersama dengan manik-manik.
DESKRIPSI SITUS
Situs Pugungraharjo menempati areal seluas kurang lebih 30 ha. Di sebelah selatan situs terdapat aliran sungai Pugung yang menjadi batas situs. Areal situs terbagi menjadi 3 bagian dengan adanya benteng yang terbuat dari tanah. Lebar benteng tanah tersebut kurang lebih 5 m, sedangkan tingginya 2 – 3 m. Di bagian luar benteng terdapat parit yang lebarnya 3 – 5 m. Di beberapa tempat pada benteng ini terdapat jalan masuk.
Bagian pertama berada pada bagian paling barat. Sisi utara bagian pertama ini dibatasi oleh adanya benteng tanah yang membujur ke arah timur laut kemudian membelok ke arah tenggara. Benteng tersebut kemudian membelok lagi ke arah selatan sampai pertemuan dengan sungai. Bagian kedua situs terdapat di sebelah timur bagian pertama. Bagian kedua ini juga dibatasi oleh adanya benteng tanah yang membujur ke arah timur. Benteng tanah tersebut kemudian membelok ke selatan. Bagian ketiga dari areal situs tersebut terdapat di bagian paling timur. Bagian ini tidak dibatasi oleh adanya benteng tanah.
Tinggalan-tinggalan arkeologis yang terdapat di situs Pugungraharjo ini terdiri dari bermacam-macam bentuk, diantaranya berupa batu berlubang, batu bergores, lumpang batu, menhir, dan punden berundak. Tinggalan arkeologis yang terdapat pada bagian pertama berupa batu berlubang, batu bergores, dan punden berundak. Pada bagian kedua terdapat susunan menhir dan batu altar yang membentuk denah segi empat. Pada salah satu menhir terdapat pahatan yang membentuk garis melingkar di kedua ujungnya. Sedangkan pada salah satu batu altar terdapat pahatan yang membentuk huruf T. Susunan menhir dan batu altar ini disebut dengan kompleks batu mayat. di sebelah timur dan selatan kompleks batu mayat terdapat punden berundak. Tinggalan arkeologis yang terdapat pada bagian paling timur dari situs pugungraharjo berupa batu berlubang, batu bergores, batu lumpang, dan punden berundak. Salah satu punden berundak yang terdapat di bagian ini merupakan punden terbesar yang akan menjadi pokok bahasan pada kajian ini. Selain itu, di sebelah selatan dari punden terbesar tersebut terdapat punden arca. Pada punden ini pernah ditemukan sebuah arca yang sekarang tersimpan di rumah informasi situs Pugungraharjo.
Punden terbesar di situs Pugungraharjo dikenal dengan nama Punden VI. Punden VI berdenah bujur sangkar berukuran 12 x 12 m, sedangkan tingginya sekitar 7 m. Punden ini terdiri dari 3 teras yang makin keatas makin kecil ukurannya. Batas antara masing-masing teras diperkuat dengan batu-batu kali. Di sekeliling punden terdapat parit kecil. Pada bagian tengah keempat sisi punden terdapat jalan masuk dengan lebar sekitar 2 m. Jalan masuk ini menjorok keluar dan hanya sampai pada teras yang pertama. Di sisi kiri dan kanan jalan masuk terdapat semacam pipi tangga. Pada ujung sisi kiri dan kanan jalan masuk terdapat batu yang diletakkan menyerupai makara.
Bagian pertama berada pada bagian paling barat. Sisi utara bagian pertama ini dibatasi oleh adanya benteng tanah yang membujur ke arah timur laut kemudian membelok ke arah tenggara. Benteng tersebut kemudian membelok lagi ke arah selatan sampai pertemuan dengan sungai. Bagian kedua situs terdapat di sebelah timur bagian pertama. Bagian kedua ini juga dibatasi oleh adanya benteng tanah yang membujur ke arah timur. Benteng tanah tersebut kemudian membelok ke selatan. Bagian ketiga dari areal situs tersebut terdapat di bagian paling timur. Bagian ini tidak dibatasi oleh adanya benteng tanah.
Tinggalan-tinggalan arkeologis yang terdapat di situs Pugungraharjo ini terdiri dari bermacam-macam bentuk, diantaranya berupa batu berlubang, batu bergores, lumpang batu, menhir, dan punden berundak. Tinggalan arkeologis yang terdapat pada bagian pertama berupa batu berlubang, batu bergores, dan punden berundak. Pada bagian kedua terdapat susunan menhir dan batu altar yang membentuk denah segi empat. Pada salah satu menhir terdapat pahatan yang membentuk garis melingkar di kedua ujungnya. Sedangkan pada salah satu batu altar terdapat pahatan yang membentuk huruf T. Susunan menhir dan batu altar ini disebut dengan kompleks batu mayat. di sebelah timur dan selatan kompleks batu mayat terdapat punden berundak. Tinggalan arkeologis yang terdapat pada bagian paling timur dari situs pugungraharjo berupa batu berlubang, batu bergores, batu lumpang, dan punden berundak. Salah satu punden berundak yang terdapat di bagian ini merupakan punden terbesar yang akan menjadi pokok bahasan pada kajian ini. Selain itu, di sebelah selatan dari punden terbesar tersebut terdapat punden arca. Pada punden ini pernah ditemukan sebuah arca yang sekarang tersimpan di rumah informasi situs Pugungraharjo.
Punden terbesar di situs Pugungraharjo dikenal dengan nama Punden VI. Punden VI berdenah bujur sangkar berukuran 12 x 12 m, sedangkan tingginya sekitar 7 m. Punden ini terdiri dari 3 teras yang makin keatas makin kecil ukurannya. Batas antara masing-masing teras diperkuat dengan batu-batu kali. Di sekeliling punden terdapat parit kecil. Pada bagian tengah keempat sisi punden terdapat jalan masuk dengan lebar sekitar 2 m. Jalan masuk ini menjorok keluar dan hanya sampai pada teras yang pertama. Di sisi kiri dan kanan jalan masuk terdapat semacam pipi tangga. Pada ujung sisi kiri dan kanan jalan masuk terdapat batu yang diletakkan menyerupai makara.
PEMBAHASAN
Tinggalan arkeologis yang akan dibahas dalam kajian ini adalah punden berundak di situs Pugungraharjo. Pada masa prasejarah punden berundak dihubungkan dengan pemujaan arwah leluhur. Punden berundak dapat diidentifikasikan sebagai gunung yaitu tempat keramat yang dianggap merupakan tempat arwah leluhur (Soejono, 1990: 327).
Pada masa pengaruh agama Hindu dan Buddha, bentuk bangunan punden berundak ini masih tetap digunakan. Bentuk bangunan dari tradisi megalitik ini mengilhami bentuk dasar bangunan candi (Soejono, 1990: 209). Candi-candi yang menyerupai punden berundak, berdasarkan bentuknya ada yang membelakang dan ada pula yang memusat. Candi yang membelakang misalnya candi Sukuh, Candi Cetha, dan Candi Jago. Pada candi-candi tersebut bagian yang paling sakral berada paling belakang. Sedangkan candi yang memusat misalnya Candi Borobudur. Bangunan Candi Borobudur disusun seperti limas berundak, terdiri atas sepuluh tingkat yang semakin ke atas semakin kecil ukurannya. Pada dasarnya bangunan candi Borobudur secara vertikal dibagi menjadi 3, yaitu bagian bawah, bagian tengah, dan bagian atas. Bagian bawah yang merupakan kaki bangunan berdenah bujur sangkar dengan penampil-penampil pada pertengahan tiap sisinya. Bagian tengah candi merupakan tubuh bangunannya, terdiri dari 5 tingkat yang semakin ke atas semakin kecil ukurannya. Sedangkan bagian atas candi berupa batur bersusun tiga yang ukurannya semakin ke atas semakin mengecil. Di atas batur yang tertinggi terdapat mahkota berupa sebuah stupa. Bagian atas candi berdenah bundar (Ibrahim dan Chaerosti, 1996/1997: 3 – 4). Secara simbolis ketiga bagian ini melambangkan Kamadhatu (dunia hasrat), Rupadhatu (dunia rupa), dan Arupadhatu (dunia tanpa rupa).
Bangunan punden berundak di situs Pugungraharjo yang dibahas dalam kajian ini adalah Punden VI. Bentuk dasar Punden VI menyerupai Candi Borobudur, yaitu berdenah bujur sangkar dengan penampil pada pertengahan keempat sisinya. Punden VI terdiri dari 3 teras yang makin ke atas makin kecil ukurannya.
Penelitian-penelitian di situs Pugungraharjo juga menghasilkan temuan-temuan artefaktual, yaitu keramik, gerabah dan manik-manik. Penelitian yang dilakukan pada punden di Dukuh Kemiling diantaranya menemukan manik-manik. Manik-manik tersebut ditemukan terkonsentrasi di tengah punden berundak bercampur dengan kelintingan kecil yang terbuat dari bahan perunggu. Pada beberapa situs prasejarah, manik-manik biasanya ditemukan bersama-sama dengan rangka manusia atau sebagai bekal kubur. Manik-manik hasil ekskavasi di punden Kemiling tidak ditemukan bersama dengan rangka manusia. Rita Istari yang mengadakan penelitian tentang manik-manik tersebut berpendapat bahwa dengan tidak adanya rangka manusia, maka manik-manik dari Dukuh Kemiling berfungsi sebagai sarana upacara yang bukan penguburan. Kemungkinan manik-manik bersama dengan kelintingan ditaburkan di tengah punden berundak dengan sengaja. Selain manik-manik, di lokasi tersebut juga ditemukan batu tufa yang berangka tahun 1247 çaka. Berdasarkan adanya temuan berupa manik-manik dalam jumlah yang cukup banyak dan batu berangka tahun, disimpulkan bahwa situs Pugungraharjo berasal dari masa setelah berkembangny a tradisi megalitik, bahkan kemungkinan sejaman dengan kerajaan Majapahit (Istari, 1996: 29 - 30).
Temuan artefaktual yang juga terdapat di situs Pugungraharjo adalah sebuah arca yang ditemukan di Punden VII atau punden arca. Arca yang ditemukan di Pugungraharjo ini menggambarkan seorang tokoh laki-laki dalam sikap duduk bersila, yaitu dalam sikap Vajrasana. Tokoh ini digambarkan duduk di atas padmasana ganda yang berbentuk bulat. Pada bagian belakang padmasana ini terdapat bingkai yang menonjol, berhias motif sulur. Pada arca ini tidak terdapat stela atau sandaran arca. Sikap tangan atau mudra digambarkan telunjuk kiri mengarah ke atas, telunjuk kanan dibengkokkan di atas telunjuk kiri, jari-jari tangan yang lain dilipat. Kedua telapak tangan berada di depan dada. Sikap tangan atau mudra seperti ini belum pernah ditemukan sebelumnya. Sikap mudra yang paling dekat dengan arca ini adalah naivedyamudra yaitu mudra yang diilhami sikap yang biasa digunakan oleh para penganut aliran tantrisme dalam memberikan persembahan. Berdasarkan ciri-cirinya, Endang Sh. Soekatno menduga bahwa arca Pugungraharjo tersebut menggambarkan salah satu tokoh Tantrisme. Arca tersebut berasal dari periode Jawa Timur, sebelum jaman Majapahit sekitar abad XII – XIII (Soekatno, 1985: 165 - 166).
Di Candi Borobudur juga terlihat adanya pengaruh Tantrayana. Unsur Tantrayana tersebut dinyatakan dalam arca-arca Pancatathagata. Melalui penempatan arca-arca Pancatathagata dalam susunan yang memagari semua relief yang menyampaikan ajaran Paramita, disimpulkan bahwa Candi Borobudur juga menitikberatkan pada ajaran Tantrayana (Sulistya, 1985: 52).
Di daerah Sumatra aliran Tantrayana juga pernah berkembang. Bukti adanya aliran Tantrayana tersebut terdapat pada Biaro Bahal yang terletak di Padang Lawas. Biaro-biaro di Padang Lawas berdenah bujur sangkar, pada bagian kakinya dilengkapi dengan pipi tangga yang pada ujungnya terdapat makara.
Adanya aliran Tantrayana di Biaro Bahal ditunjukkan dengan adanya arca Heruka dari Biaro Bahal II yang menunjukkan sifat keraksasaan, sebuah arca kecil yang mewujudkan seorang Bhairawi, dan dua buah arca yang mewujudkan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bersifat bhairawa-bhairawi. Adanya aliran Tantrayana di Padang Lawas juga terlihat pada dua buah prasasti, yaitu prasasti dari Tandihet dan prasasti dari Aek Sangkilon. Prasasti dari Tandihet berisi bunyi suara tertawa, sedangkan prasasti dari Aek Sangkilon berisi tentang upacara terhadap sebuah arca Yamari. Yamari adalah salah satu dewa yang terpenting dalam aliran Tantrayana (Suleiman, 1985: 23 – 37).
Punden di situs Pugungraharjo tidak dilengkapi dengan relief. Tetapi bentuk dasar bangunan Punden VI menunjukkan persamaan dengan bentuk dasar beberapa candi, yaitu berdenah bujur sangkar dan terdiri dari teras-teras berundak. Teras-teras tersebut makin ke atas makin mengecil. Pada teras paling bawah terdapat jalan masuk yang di kiri dan kanannya terdapat semacam pipi tangga. Pada ujung pipi tangga terdapat batu meruncing ke atas yang berbentuk seperti makara. Aliran Tantrayana di situs Pugungraharjo terlihat dengan adanya temuan arca dengan sikap tangan naivedyamudra.
Pada masa pengaruh agama Hindu dan Buddha, bentuk bangunan punden berundak ini masih tetap digunakan. Bentuk bangunan dari tradisi megalitik ini mengilhami bentuk dasar bangunan candi (Soejono, 1990: 209). Candi-candi yang menyerupai punden berundak, berdasarkan bentuknya ada yang membelakang dan ada pula yang memusat. Candi yang membelakang misalnya candi Sukuh, Candi Cetha, dan Candi Jago. Pada candi-candi tersebut bagian yang paling sakral berada paling belakang. Sedangkan candi yang memusat misalnya Candi Borobudur. Bangunan Candi Borobudur disusun seperti limas berundak, terdiri atas sepuluh tingkat yang semakin ke atas semakin kecil ukurannya. Pada dasarnya bangunan candi Borobudur secara vertikal dibagi menjadi 3, yaitu bagian bawah, bagian tengah, dan bagian atas. Bagian bawah yang merupakan kaki bangunan berdenah bujur sangkar dengan penampil-penampil pada pertengahan tiap sisinya. Bagian tengah candi merupakan tubuh bangunannya, terdiri dari 5 tingkat yang semakin ke atas semakin kecil ukurannya. Sedangkan bagian atas candi berupa batur bersusun tiga yang ukurannya semakin ke atas semakin mengecil. Di atas batur yang tertinggi terdapat mahkota berupa sebuah stupa. Bagian atas candi berdenah bundar (Ibrahim dan Chaerosti, 1996/1997: 3 – 4). Secara simbolis ketiga bagian ini melambangkan Kamadhatu (dunia hasrat), Rupadhatu (dunia rupa), dan Arupadhatu (dunia tanpa rupa).
Bangunan punden berundak di situs Pugungraharjo yang dibahas dalam kajian ini adalah Punden VI. Bentuk dasar Punden VI menyerupai Candi Borobudur, yaitu berdenah bujur sangkar dengan penampil pada pertengahan keempat sisinya. Punden VI terdiri dari 3 teras yang makin ke atas makin kecil ukurannya.
Penelitian-penelitian di situs Pugungraharjo juga menghasilkan temuan-temuan artefaktual, yaitu keramik, gerabah dan manik-manik. Penelitian yang dilakukan pada punden di Dukuh Kemiling diantaranya menemukan manik-manik. Manik-manik tersebut ditemukan terkonsentrasi di tengah punden berundak bercampur dengan kelintingan kecil yang terbuat dari bahan perunggu. Pada beberapa situs prasejarah, manik-manik biasanya ditemukan bersama-sama dengan rangka manusia atau sebagai bekal kubur. Manik-manik hasil ekskavasi di punden Kemiling tidak ditemukan bersama dengan rangka manusia. Rita Istari yang mengadakan penelitian tentang manik-manik tersebut berpendapat bahwa dengan tidak adanya rangka manusia, maka manik-manik dari Dukuh Kemiling berfungsi sebagai sarana upacara yang bukan penguburan. Kemungkinan manik-manik bersama dengan kelintingan ditaburkan di tengah punden berundak dengan sengaja. Selain manik-manik, di lokasi tersebut juga ditemukan batu tufa yang berangka tahun 1247 çaka. Berdasarkan adanya temuan berupa manik-manik dalam jumlah yang cukup banyak dan batu berangka tahun, disimpulkan bahwa situs Pugungraharjo berasal dari masa setelah berkembangny a tradisi megalitik, bahkan kemungkinan sejaman dengan kerajaan Majapahit (Istari, 1996: 29 - 30).
Temuan artefaktual yang juga terdapat di situs Pugungraharjo adalah sebuah arca yang ditemukan di Punden VII atau punden arca. Arca yang ditemukan di Pugungraharjo ini menggambarkan seorang tokoh laki-laki dalam sikap duduk bersila, yaitu dalam sikap Vajrasana. Tokoh ini digambarkan duduk di atas padmasana ganda yang berbentuk bulat. Pada bagian belakang padmasana ini terdapat bingkai yang menonjol, berhias motif sulur. Pada arca ini tidak terdapat stela atau sandaran arca. Sikap tangan atau mudra digambarkan telunjuk kiri mengarah ke atas, telunjuk kanan dibengkokkan di atas telunjuk kiri, jari-jari tangan yang lain dilipat. Kedua telapak tangan berada di depan dada. Sikap tangan atau mudra seperti ini belum pernah ditemukan sebelumnya. Sikap mudra yang paling dekat dengan arca ini adalah naivedyamudra yaitu mudra yang diilhami sikap yang biasa digunakan oleh para penganut aliran tantrisme dalam memberikan persembahan. Berdasarkan ciri-cirinya, Endang Sh. Soekatno menduga bahwa arca Pugungraharjo tersebut menggambarkan salah satu tokoh Tantrisme. Arca tersebut berasal dari periode Jawa Timur, sebelum jaman Majapahit sekitar abad XII – XIII (Soekatno, 1985: 165 - 166).
Di Candi Borobudur juga terlihat adanya pengaruh Tantrayana. Unsur Tantrayana tersebut dinyatakan dalam arca-arca Pancatathagata. Melalui penempatan arca-arca Pancatathagata dalam susunan yang memagari semua relief yang menyampaikan ajaran Paramita, disimpulkan bahwa Candi Borobudur juga menitikberatkan pada ajaran Tantrayana (Sulistya, 1985: 52).
Di daerah Sumatra aliran Tantrayana juga pernah berkembang. Bukti adanya aliran Tantrayana tersebut terdapat pada Biaro Bahal yang terletak di Padang Lawas. Biaro-biaro di Padang Lawas berdenah bujur sangkar, pada bagian kakinya dilengkapi dengan pipi tangga yang pada ujungnya terdapat makara.
Adanya aliran Tantrayana di Biaro Bahal ditunjukkan dengan adanya arca Heruka dari Biaro Bahal II yang menunjukkan sifat keraksasaan, sebuah arca kecil yang mewujudkan seorang Bhairawi, dan dua buah arca yang mewujudkan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bersifat bhairawa-bhairawi. Adanya aliran Tantrayana di Padang Lawas juga terlihat pada dua buah prasasti, yaitu prasasti dari Tandihet dan prasasti dari Aek Sangkilon. Prasasti dari Tandihet berisi bunyi suara tertawa, sedangkan prasasti dari Aek Sangkilon berisi tentang upacara terhadap sebuah arca Yamari. Yamari adalah salah satu dewa yang terpenting dalam aliran Tantrayana (Suleiman, 1985: 23 – 37).
Punden di situs Pugungraharjo tidak dilengkapi dengan relief. Tetapi bentuk dasar bangunan Punden VI menunjukkan persamaan dengan bentuk dasar beberapa candi, yaitu berdenah bujur sangkar dan terdiri dari teras-teras berundak. Teras-teras tersebut makin ke atas makin mengecil. Pada teras paling bawah terdapat jalan masuk yang di kiri dan kanannya terdapat semacam pipi tangga. Pada ujung pipi tangga terdapat batu meruncing ke atas yang berbentuk seperti makara. Aliran Tantrayana di situs Pugungraharjo terlihat dengan adanya temuan arca dengan sikap tangan naivedyamudra.
KESIMPULAN
Berdasarkan perbandingan dengan beberapa candi, Punden VI di situs Pugungraharjo mempunyai persamaan dengan bentuk dasar candi Borobudur dan Biaro Bahal di Padang Lawas yaitu berdenah bujur sangkar. Bentuk bangunan berupa teras berundak yang makin ke atas makin mengecil. Pada bagian kaki terdapat jalan masuk yang diapit oleh semacam pipi tangga. Pada ujung pipi tangga tersebut terdapat batu yang diletakkan sedemikian rupa sehingga menyerupai makara. Dengan demikian disimpulkan bahwa punden berundak di situs Pugungraharjo berasal dari masa pengaruh Hindu-Buddha. Sedangkan aliran yang melatarinya adalah aliran Tantrayana. Kesimpulan mengenai periodesasi ini selaras dengan hasil analisis manik-manik yang ditemukan di Punden situs Kemiling, serta didukung oleh temuan batu bertuliskan angka tahun 1247 çaka dan temuan arca di Punden VII atau punden arca.
KEPUSTAKAAN
Gibbon, Guy. 1984. Anthropological Archaeology. New York: Columbia University Press.
Ibrahim, Maulana dan Linda Chaerosti. 1996/1997. Borobudur Dalam Data. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Istari, TM Rita. 1996. “Sekilas Tentang Manik-manik Kemiling, Pugungraharjo, Lampung Tengah”. Dalam Berkala Arkeologi Tahun XVI (1) Mei 1996. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.
Kusumohartono, Bugie. 1987. “Eksloratif-Deskriptif-Eksplanatif dalam Kajian Arkeologi Indonesia”. Dalam Berkala Arkeologi VIII (2) September 1987. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.
Soejono, RP (ed.) 1990. “Jaman Prasejarah di Indonesia”. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka.
Soekatno, Endang Sh. 1985. “Catatan Tentang Arca dari Masa Klasik dari Pugungrahardjo, Lampung”. Dalam Rapat Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi II. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Sukendar, Haris. 1979. “Laporan Penelitian Kepurbakalaan Daerah Lampung” Berita Penelitian Arkeologi No. 20. Jakarta: Proyek Penelitian dan Penggalian Purbakala.
--------, 1996/1997. Album Tradisi Megalitik di Indonesia. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan .
Suleiman, Satyawati. 1985. “Peninggalan-Peninggalan Purbakala di Padang Lawas”. Dalam Amerta No 2. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Sulistya, Bambang. 1985. “Pengaruh Tantrayana di Kawasan Nusantara”. Dalam Berkala Arkeologi VI (2) September 1985. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.
Catatan: Tulisan ini diterbitkan di buku berjudul “Cakrawala Arkeologi”, hlm. 127 – 134. Editor Dr. Fachroel Aziz dan Dra. Etty Saringendyanti W, M. Hum. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar