Dalam manuskrip Etnografi Lampung yang
saya rangkum, saya mencoba menyusun rekonstruksi sejarah kekuasaan di
Lampung. Hampir semua sumber menyebutkan bahwa asal usul orang Lampung
dari Sekala Brak. Namun, tak semua sumber menyebut Suku Bangsa Tumi yang
ratunya bernama Sekerummong (Hadikusuma, 1983) menjadi pengetahuan umum
masyarakat Lampung.
----------
ADA yang
menyebut Puyang Mena Tepik (Anshory, 2007), juga ada yang menyebut Umpu
Serunting (Soepangat, 1978) yang lebih dikenal dalam tradisi tutur
masyarakat Abung dan Way Kanan. Sumber lain menyebut orang Lampung
berasal dari Batak, merupakan keturunan Ompu Silamponge (Silamponga)
(Isneini, 2007 mengutip buku Sejarah Daerah Lampung, (1977).
Saya
hanya mendapat informasi bahwa Sekala Brak adalah tempat mula-mula orang
Lampung berasal tapi sedikit (sampai kini saya belum menemukan)
informasi yang menyatakan bahwa Sekala Brak juga menjadi entitas politik
dan kekuasaan di Lampung yang meliputi wilayah seluas Provinsi Lampung
saat ini. Migrasi dari Sekala Brak lebih banyak bersifat genealogis,
sehingga marga-marga (buay) yang ada di Lampung, 84 jumlahnya
menurut ordonansi Marga Regering Voor de Lampungche Districten tahun
1928 berkedudukan sejajar. Saya sedang menyempurnakan rekonstruksi soal
entitas Sekala Brak. Kalau kita menyebut Sekala Brak, sesungguhnya
Sekala Brak mana yang dirujuk: apakah Sekala Brak Buay Tumi, atau empat
Paksi utama Sekala Brak yang dianggap keturunan imigran dari Pagaruyung,
atau salah satu dari paksi utama Sekala Brak? Paksi-paksi utama Sekala
Brak juga tidak menggunakan identitas atau menyebut dirinya Sekala Brak.
Saya mencatat paksi-paksi utama Sekala Brak, yakni Inder Gajar bergelar
Umpu Lapah di Way beserta keturunannya yang kemudian bermukim di Puncak
Dalom, Kacamatan Balikbukit, Lampung Barat. Umpu Lapah di Way ini
merupakan nenek moyang Buay Abung. Kemudian Pak Lang bergelar Umpu
Pernong melakukan migrasi ke Hanibung Batu Brak menjadi nenek moyang
Buay Pubian. Sikin bergelar Umpu Nyerupa berkedudukan di Tampak Siring
Sukau Lampung Barat melahirkan keturunan Buay Jelma Daya. Belunguh yang
bergelar Umpu Belunguh bermukim di Kenali, Belalau, Lampung Barat,
menurunkan Buay Peminggir (Hadikusuma dalam Sibarani, 2008).
Paksi-paksi utama ini membentuk federasi Kepaksian Empat Sekala Brak dan
mengodifikasi sistem kekuasaannya dalam semboyan Bersatu tidak bersekutu, berpisah tidak bercerai." (Natakembahang, 2011).
Sejarah Kekuasaan
Saya
mencoba merangkum rekonstruksi sejarah kekuasaan di Lampung berdasar
periodisasi sejak Abad V hingga masa setelah perang kemerdekaan. Tahun
414, Fa-Hsien dalam Berita China menyebut wilayah (kerajaan?) Yeh-po-ti (Seputih) dan Po-hwang (Tulangbawang), sezaman dengan San-fo-tsi
(Sriwijaya) (Sholihat, 1980:5 dalam Saptono, 2007). Hal ini
mengindikasikan setidaknya sejak abad V telah hadir kekuasaan politik
lokal di Lampung. Tampaknya kekuasaan politik lokal ini tidak
berlangsung lama, karena pada abad VIII-XI, Lampung termasuk ke dalam
wilayah kekuasaan Sriwijaya (Rangkuti, 1994: 165-66 dalam Saptono,
2007). Pada rentang waktu yang sama, yakni abad X-XI, berdasar
penafsiran atas Prasasti Hujung Langit, Lampung berada dalam kekuasaan
Mpu Sindok dan Erlangga yang memerintah Kerajaan Medang yang dilanjutkan
Kerajaan Kahuripan (Soekmono, 1985: 49 dalam Saptono, 2007).
Rekonstruksi kemudian berlanjut pada abad XIV. Negarakertagama Pupuh
13 dan 14 menyebut Lampung termasuk daerah Melayu ke dalam kekuasaan
Majapahit (Muljana, 1979: 146, 279). Pada Abad XVI, tepatnya tahun
1512—1515 Tome Pires yang singgah di pantai timur Lampung menyebut dua
lokasi (kerajaan?), yakni Tulangbawang dan Sekampung (Seputih?).
Kekuasaan politik lokal di Lampung teridentifikasi kembali pada abad
XVI, tepatnya tahun 1530, pada masa kekuasaan Banten di Lampung terdapat
5 (lima) keratuan: Puncak (Abung dan Tulangbawang), Pemanggilan (Krui,
Ranau, Komering), Pugung (Pugung, Pubian), dan Balau (Telukbetung)
(Soebing, 1988:35 dalam Saptono, 2007). Namun, pada abad XVII, menurut
Piagam Bojong, Sultan Haji Sultan Banten yang sedang berkuasa,
menyerahkan sebagian wilayahnya, yakni Lampung kepada VOC. Selain itu,
pengaruh Kesultanan Palembang (abad XV-XIX) di Lampung ditandai dengan
lahirnya bentuk dan struktur marga di Lampung menurut kodifikasi Kitab Simbur Cahaya (J.W. Naardig dalam Yudha, 1996:3).
Kekuasaan luar yang silih berganti berpengaruh di Lampung lebih tepat dimaknai dalam konteks vassal,
bukan aneksasi. Kekuasaan-kekuasaan luar yang berpengaruh juga tidak
menguasai Lampung seluas kira-kira Provinsi Lampung saat ini melainkan
wilayah-wilayah yang dianggap penting bagi mereka. Kesultanan Banten,
misalnya, lebih banyak berpengaruh di Lampung Selatan ketimbang wilayah
lain di Lampung.
Memasuki
periode penjajahan Belanda, Lampung sebagai entitas budaya dan politik
seluas kira-kira Provinsi Lampung saat ini sesungguhnya baru terbentuk.
Hal yang sama terjadi pada entitas kebangsaan Indonesia yang baru lahir
pada abad XX. Sebelumnya entitas yang lebih dulu menguat di Indonesia
adalah kekuasaan-kekuasaan politik lokal.
Kalaupun
semangat kebangsaan terbangun, semangat tersebut diikat oleh entitas
nusantara, bukan Indonesia. Nusantara meliputi wilayah-wilayah
Semenanjung Malaka hingga Indonesia saat ini termasuk Kesultanan Brunei
Darussalam di Kalimantan. Sebagian kalangan seperti Tan Malaka menyebut
Filipina termasuk dalam entitas Nusantara, yang disebutnya sebagai
Indonesia Utara.
Tahun
1817 Pemerintah Kolonial Belanda meresmikan terbentuknya Karesidenan
Lampung (Lampongsche Districten) di bawah seorang residen yang
berkedudukan di Terbanggi sebelum kemudian pindah ke Telukbetung. Untuk
melengkapi struktur pemerintahan, tahun 1873, Belanda membagi Lampung
menjadi 6 onderafdeling (kawedanan). Karena kebutuhan manajemen
kekuasaan yang semakin kompleks, tahun 1917 Belanda melengkapi struktur
pemerintahan di Lampung menjadi 2 afdeling: Telukbetung dan Tulangbawang dengan 6 onderafdeling, yakni Telukbetung, Semangka, Katimbang, Tulangbawang, Seputih, dan Sekampung (Anshory, 2007).
Tahun 1928 struktur kekuasaan lokal marga dimasukkan ke dalam struktur pemerintahan, berkedudukan di bawah onderafdeling melalui ordonansi Inlandsche Gemeent Ordonantie Buitengewestan (Saptono, 2007). Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) Lampung dibagi dalam 3 bunshu (kabupaten), yakni Telukbetung, Metro, dan Kotabumi. Setiap kabupaten terdiri dari beberapa kawedanan (gun)
yang membawahi marga-marga. Dari sini dapat disimpulkan bila marga pada
masa pendudukan Jepang berada pada struktur setingkat kecamatan.
Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, daerah
Lampung menjadi karesidenan yang tergabung ke dalam Provinsi Sumatera
Selatan yang beribu kota di Palembang. Baru pada 1964, melalui UU No. 14
Tahun 1964, terbentuklah Provinsi Lampung dengan ibu kota
Tanjungkarang-Telukbetung (sekarang menjadi Bandar Lampung) (Anshory,
2007).
Pada
masa setelah perang kemerdekaan, sistem pemerintahan marga mengalami
sejumlah perubahan. Tahun 1947 sistem pemerintahan marga dihapus karena
dianggap warisan kolonial. Sebagai gantinya pada 1953 diberlakukan
sistem pemerintahan nagari sebagaimana lembaga nagari di Sumatera Barat.
Sistem nagari ternyata tidak dapat berkembang di luar wilayah
Minangkabau. Tahun 1970, sistem pemerintahan marga berbentuk nagari
dipersiapkan sebagai Daerah Tingkat III, atau setingkat kecamatan
(Hadikusuma, 1985—1986). Belum sempat menjadi Daerah Tingkat III, sistem
marga berbentuk nagari secara resmi dibubarkan tahun 1976. Terbitnya
Undang-undang Nomor 10 tahun 1975 tentang Pengaturan Pemerintahan Daerah
menghapus sistem pemerintahan tradisional di seluruh Indonesia.
Meskipun demikian, hingga kini struktur marga dan buay masih hidup dalam masyarakat sebagai sistem kebudayaan lokal (Saptono, 2007).
Febrie Hastiyanto, Alumnus Sosiologi FISIP UNS Solo. Menulis manuskrip Jejak Peradaban Bumi Ramik Ragom: Studi Etnografi Kebuayan Way Kanan Lampung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar