Papa saya adalah orang Lampung. Mama saya keturunan Jawa-Lahat. Berdasarkan kebudayaan, saya menganut patrilineal. Jadi, kalau saya ditanya oleh seseorang tentang suku saya, sepatutnya saya jawab, "Lampung". Walau kadang saya sulit melakukan hal itu karena saya juga senang pengaruh yang Mama saya berikan ke dalam keluarga ini.
Dengan keajaiban dan kemampuan bersosialisasi secara adat yang luar biasa oleh Papa saya, adat istiadat Lampung menjadi sangat kental dilaksanakan dalam keluarga besar saya, khususnya pernikahan. Semua proses harus dilakukan sesuai ataupun selaras dengan adat istiadat, tentunya tanpa mengurangi nilai dalam Islam. Setelah dua orang kakak saya dan dua orang sepupu saya menikah dengan rangkaian acara adat Lampung, hal itu mempermudah saya (dan juga saudara lainnya) untuk memahami pentingnya menjaga hal tersebut.
Salah satu teman saya, berasumsi kalau saya menikah maka akan banyak kerepotan. Mungkin yang benar adalah teman saya salah, bukan salah satu teman saya. Kalau salah satu dari sepuluh soal, nilainya masih sembilan. Kembali kepada pernikahan dan adat istiadat. Ada orang yang anggap kalau saya harus mencari calon suami yang juga bersuku Lampung. Papa dan Mama saya tidak pernah sekalipun berkata demikian.
Saya selalu berharap, saya menikah dengan jodoh saya. Kepada orang yang telah memilih saya dan saya pilih untuk menjadi suami saya, maka saya akan bahagia atas itu. Kalau ternyata dia adalah orang bersuku Lampung, maka proses pernikahan akan diawali dan ditutup dengan acara adat yang telah disepakati oleh para perwatin. Tentu, ketika akad nikah, sepenuhnya mengikuti syarat sah nikah dalam Islam.
Kalau bukan bersuku Lampung atau berwarga negara asing? Mari di-Lampung-kan. Maksudnya? Dalam rangkaian acara adat, dia harus sebagai orang Lampung. Demi memperpanjang tali silaturahmi, keluarga calon mempelai pria akan diangkat bersaudara oleh keluarga Lampung. Keluarga Lampung ini seringkali adalah teman dekat keluarga perempuan. Ini seperti penghargaan untuk menjadi saudara.
Karena kedudukan keluarga saya di dalam adat, maka saya pun menjadi Muli Adat. Itu yang mengartikan kalau saya menikah, hal tersebut harus dilakukan oleh masyarakat adat. Jika tidak, maka saya mencoret keluarga saya dalam sosial adat. Sekitar dua hari sebelum akad nikah nanti, di rumah saya akan ramai orang berkumpul. Secara adat, diumumkan bahwa saya gadis dari desa dan marga tertentu akan menikah. Nanti juga ada acara muda-mudi berkumpul, dulunya ini dijadikan ajang perkenalan.
Dalam acara itu, akan ada satu bagian yang saya suka. Ketika perwatin dan panitia acara memperkenalkan gadis-gadis dari desa dan atau marga lain yang hadir. Mereka diperkenalkan melalui pantun dalam bahasa Lampung. Pantun itu memperkenalkan gelar yang mereka miliki dan makna dalam gelar mereka. Dikumandangkan dengan lantunan yang sangat khas. Saya iri sekali karena saya pasti terbata-bata kalau harus menggantikan mereka.
Semua acara adat itu dilakukan di dalam ruang, yang disebut Sessat. Tidak sembarang orang boleh lewat atau berada di dalam Sessat. Hanya orang-orang yang berkepentingan dalam acara tersebut. Kalau ada orang yang masuk ke dalam Sessat, mereka harus menggunakan sarung. Kalau pria, seperti sarung tumpal. Kalau perempuan, dikenakan seperti sarung biasa atau rok panjang. Kalau ada yang melanggar, orang tersebut akan dikenakan denda dan Batangan, keluarga pelaksana acara, yang harus membayarnya.
Setelah akad nikah, keluarga perempuan akan melepas pengantin. Kemudian pengantin akan menuju rumah keluarga mempelai pria. Kalau pasangan saya nanti orang Lampung, bisa jadi ada acara lanjutan di rumah itu.
Tidak ada yang merepotkan, sepertinya. Kalaupun para perempuan harus menggunakan Siger dalam proses upacara adat, itu semua hanya rangkaian proses yang harus dilalui. Ini hanya sepenggal cerita dari yang saya saksikan sebelumnya. Dan ini juga yang mungkin akan terjadi nanti. Hal yang terpenting sebelum dimulai adalah harus memiliki calon suami terlebih dahulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar